JAKARTA, Berita HUKUM - Hari Rabu (13/1) kemarin, penerapan vaksin covid-19 dimulai. Wakil Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta Dedi Supriadi mengingatkan Pemda DKI Jakarta agar melakukan pendekatan ke masyarakat secara persuasif dalam menerapkan program vaksinasi ini sebagaimana tertuang dalam Perda DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19.
"Prosedurnya harus terpenuhi, dan tidak asal main denda," tutur Dedi, Anggota Fraksi PKS ini.
Sesuai janji pemerintah, vaksin ini akan diberikan gratis kepada masyarakat, dan harus sudah lulus uji BPOM dan Sertifikasi Halal MUI. "Penerapan vaksin covid ini menjadi salah satu strategi untuk memperbaiki penanganan pandemi covid yang akhir-akhir ini makin memburuk," tambahnya.
Anggota Dewan dari dapil 8 Jakarta Selatan ini juga menyampaikan setidaknya ada 5 hal yang perlu diperhatikan pemda DKI dalam menerapkan program vaksinasi.
Pertama, SDM yang terlatih dalam melakukan penyuntikan vaksin. Kedua, Perlindungan Tenaga Kesehatan yang menjadi vaksinator.
Ketiga, Mitigasi Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi dengan pengawasan secara day to day. Keempat, Pengelolaan limbah vaksin yang aman. Dan kelima, dilakukan secara transparan dan akuntabel, tidak membuka ruang korupsi.
Sementara, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Edward Hiariej menyatakan, masyarakat yang menolak vaksinasi Covid-19 dapat dijatuhi hukuman pidana paling lama 1 tahun penjara. Edward mengatakan, vaksinasi Covid-19 merupakan bagian dari kewajiban seluruh warga negara untuk mewujudkan kesehatan masyarakat.
"Ketika pertanyaan apakah ada sanksi atau tidak, secara tegas saya mengatakan ada sanksi itu. Mengapa sanksi harus ada? Karena tadi dikatakan, ini merupakan suatu kewajiban," kata Edward dalam webinar yang disiarkan akun YouTube PB IDI, Sabtu (9/1) lalu.
Guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada itu mengatakan, ketentuan pidana bagi penolak vaksinasi diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 93 UU tersebut menyatakan, setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan/atau menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat bisa dipidana dengan penjara paling lama satu tahun dan/atau denda maksimal Rp 100 juta.
Sementara itu, pada pasal 9 UU yang sama, disebutkan bahwa setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan ikut serta dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.
"Jadi ketika kita menyatakan bahwa vaksin ini adalah suatu kewajiban maka secara mutatis mutandis jika ada warga negara yang tidak mau divaksin maka bisa dikenakan sanksi, bisa berupa denda, bisa berupa penjara, bisa juga kedua-duanya," ujar Edward.
Edward mengatakan, sanksi serupa juga berlaku bagi perbuatan lain yang tidak sesuai kekarantinaan kesehatan seperti tidak menggunakan masker dan tidak menjaga jarak. Akan tetapi, Edward menegaskan, sanksi pidana tersebut bersifat sebagai pilihan terakhir ketika sarana hukum lainnya tidak berfungsi.
Mendurut Edward, jika masyarakat sudah memahami pentingnya vaksinasi Covid-19 bagi kesehatan, upaya paksa dengan menjatuhkan sanksi pidana tidak perlu lagi dilaksanakan. "Sedapat mungkin sanksi itu adalah jalan terakhir. Apa yang harus diutamakan, bersifat persuasif dan lebih diutamakan lagi adalah sosialisasi dari teman-teman tenaga kesehatan," kata Edward.
Ia juga mengatakan, dalam Pasal 69 UU 31 Tahun 1999 tentang HAM, dinyatakan pula bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, dalam hal ini hak atas kesehatan dengan mengikuti vaksinasi Covid-19.
"Kita hidup dalam masyarakat, di samping ada hak, ada kewajiban. Jadi vaksinasi merupakan kewajiban ini dalam rangka menghormati hak orang lain untuk mendapatkan pemenuhan kesehatan yang layak," kata Edward.(PKS/kompas/bh/sya) |