JAKARTA, Berita HUKUM - Aturan mengenai tunjangan profesi bagi dosen dan guru dalam Undang-Undang No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ahmad Amin, seorang pegawai negeri sipil (PNS) atau aparatur sipil negara (ASN) Dinas Pendidikan Kabupaten Pati Jawa Tengah, tercatat sebagai pemohon perkara Nomor 91/PUU-XIV/2016 tersebut.
Dalam sidang perdana yang digelar Senin (17/10), pemohon yang hadir tanpa diwakili kuasa hukum, menjelaskan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 15 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 52 ayat (1), Pasal 53 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan Pasal 57 ayat (1) UU Guru dan Dosen. Menurut Amin, pasal-pasal tersebut terutama frasa "tunjangan profesi" telah menjadikan kedudukan profesi guru dan dosen terasa istimewa dibanding dengan ASN lainnya. Ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan Pasal 52 ayat (1) UU 14/2005 pada frasa "tunjangan profesi" yang dijelaskan dalam penjelasan bahwa tunjangan profesi adalah tunjangan yang diberikan kepada guru yang memiliki sertifikat pendidik sebagai penghargaan atas profesionalitasnya.
Ia menilai ketentuan tersebut sangat bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, yaitu pengelolaan APBN untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. \"Sudah selayaknya setiap pekerjaan dilakukan secara profesional sehingga dapat dipertanggungjawabkan proses dan hasil dari pekerjaan tersebut.
Pemberian tunjangan profesi hanyalah upaya untuk mengelabui rakyat dan sekadar formalitas untuk membungkus kewajiban terlihat sebagai prestasi, sehingga jelas tampak bahwa tunjangan guru dan dosen hanya digunakan untuk membagi-bagi anggaran pendidikan yang besar20% APBN dan 20% APBD," urai pemohon.
Ia melanjutkan bahwa tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menjadikan profesi guru dan dosen istimewa. Guru dan dosen merupakan tenaga profesional. Berdasar Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, pemberi kerjalah yang memiliki tanggung jawab untuk memenuhi dan menjamin kesejahteraan tenaga profesional yang mereka pekerjakan/ kontrak. Menaikkan besaran tunjangan profesi Guru dan Dosen, menurut Pemohon, adalah kebijakan yang tidak adil bagi ASN selain Guru dan Dosen.
Guru dan Dosen yang mendapatkan tunjangan profesi akan mendapatkan penghasilan lebih besar daripada ASN bukan guru dan dosen. Jika Gaji pokok ASN naik 10%, secara otomatis Guru dan dosen ASN mendapat kenaikan gaji 20%, yaitu 10% dari kenaikan gaji pokok ASN dan 10% tunjangan profesi. Hal itu dinilai akan menyebabkan Pemerintah berpikir ulang jika ingin menaikkan gaji pokok ASN, karena kebutuhan anggarannya selalu ganda.
Berdasarkan Putusan MK Nomor 24/PUU-V/2007 perihal Pengujian UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Khusus Pasal 49 ayat (1) dan UU Nomor 18/2006 Tentang APBN Tahun Anggaran 2007, menyatakan Pasal 49 Ayat (1) UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sepanjang mengenai frasa "gaji pendidik" tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Keputusan MK tersebut secara jelas menyatakan "gaji pendidik" tidak boleh dimaknai dan diubah menjadi "penghasilan pendidik".
Menurut dalil Pemohon, tunjangan profesi guru dan dosen seharusnya menjadi tanggung jawab organisasi profesi yang bersangkutan, dengan melakukan subsidi silang dari anggota yang memiliki kontrak kerja dengan penghasilan lebih dengan anggota yang kontrak kerja dengan penghasilan kurang. Hal ini karena tunjangan profesi bersifat khusus bagi profesi tertentu saja. Jika tunjangan profesi dibebankan pada negara, maka negara bertindak diskriminasi dan melanggar konstitusi.
"Penghargaan hanya diberikan kepada beberapa orang dalam suatu kelompok yang memiliki prestasi menonjol sebagai motivasi anggota kelompok lain agar dapat berprestasi dan pembeda antara yang berprestasi atau tidak. Sedangkan tunjangan guru dan dosen ditargetkan untuk semua guru dan dosen dapat memperolehnya. Kemudian bahwa pemberian tunjangan profesi khusus pada profesi guru dan dosen yang PNS, maka bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) yang jelas menunjukan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Jadi semua PNS seharusnya menerima jenis penghasilan yang sama walaupun memiliki besaran yang berbeda sesuai dengan tanggung jawab dan kinerjanya," ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar tersebut.
Kemudian, Pemohon menilai Pasal 19 ayat (1) UU 14/2005 sepanjang pada frasa "kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri guru" dan Pasal 57 ayat (1) UU 14/2005 sepanjang pada frase "kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri dosen", telahmelanggar rasa percaya diri persamaan hak dan kedudukan dalam memperoleh pelayanan dari negara. Norma tersebut juga memberikan kesempatan untuk mendapatkan status istimewa, menjadi lebih utama dari yang lain. Walaupun Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 mengijinkan suatu keistimewaan diberikan, hal itu dimaksudkan dalam upaya mencapai persamaan, bukan untuk mendapatkan perlakuan khusus berdasar diskriminatif atas dasar apapun agar merasa lebih dari orang lain.
Untuk itulah, pemohon meminta agar pasal-pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional dan bertentangan dengan UUD 1945.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dan Aswanto memberikan saran perbaikan. Aswanto menilai adanya kecemburuan antara pemohon sebagai PNS dengan guru yang juga berstatus PNS mengenai tunjangan sehingga melahirkan permohonan tersebut. Menurutnya, diskriminasi yang dimaksudkan pemohon belum terlihat dalam permohonan. Untuk itulah, lanjutnya, ia meminta agar pemohon memperdalam diskriminasi yang dialaminya dielaorasi dengan kerugian konstitusional yang dijamin dalam UUD 1945.
"Karena guru itu PNS, Saudara juga PNS, tapi diperlakukan berbeda. Nah, sehingga Saudara mengatakan guru jangan dikasih tunjangan, sama saja kami PNS. Mestinya kebalik. Mestinya Saudara yang minta tunjangan, supaya sama-sama sejahtera. Ini Saudara minta supaya sama-sama susah gitu. Mestinya kan Saudara minta supaya sama-sama sejahtera gitu. Itu yang mestinya Saudara urai di sini. Saudara harus menguraikan apa yang menyebabkan sehingga seorang guru, maksudnya PNS yang berprofesi sebagai guru itu diberi tunjangan, termasuk yang Pasal 55 itu dosen, diberi tunjangan. Nah, itu yang belum kelihatan di dalam permohonan Saudara. Saudara mestinya menguraikan bahwa sebenarnya pekerjaan saya sebagai PNS, tugas saya sebagai PNS dengan tugas seorang guru itu sama saja, tapi kenapa dibedakan gitu?" sarannya.
Sementara Patrialis meminta agar pemohon mempertimbangkan kembali permohonan yang dianggapnya tidak terjadi kerugian konstitusional pemohon. Terlebih mengenai perbedaan tunjangan profesi. Padahal guru maupun dosen, lanjut Patrialis, tidak merasa dirugikan dengan adanya UU tersebut. "Guru sendiri enggak menuntut juga di sini. Jadi kan Saudara enggak kerugian di sini sebetulnya, kerugian konstitusional itu," tandasnya.
Majelis Hakim memberikan waktu selama 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonan. Sidang berikutnya mengagendakan sidang pemeriksaan perbaikan permohonan.(LuluAnjarsari/lul/MK/bh/sya) |