JAKARTA, Berita HUKUM - Presiden Joko Widodo dianggap melanggar konstitusi jika benar-benar melakukan langkah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) langsung ke darurat sipil saat menangani pandemi virus corona atau Covid-19.
Direktur Eksekutif Center for Social, Political, Economic and Law Studies (Cespels), Ubedilah Badrun mengatakan, pelanggaran konstitusi yang dimaksud adalah Presiden Jokowi mengabaikan Bab VII bagian ketiga tentang karantina wilayah UU 16/2018.
Seharusnya, kata Ubedilah, langkah yang diambil setelah PSSB adalah Karantina Wilayah.
"Harusnya dalam kondisi wabah yang terus meluas ini pasal yang digunakan menurut UU 6/2018 setelah kebijakan pembatasan sosial berskala besar adalah karantina wilayah, tidak lompat ke darurat sipil," ucap Ubedilah Badrun kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (30/3).
Karena, kata analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini, Presiden Jokowi telah melakukan lompatan dasar hukum jika tidak melakukan karantina wilayah.
"Ini ada logika dasar kebijakan yang lompat dari dasar UU 6/2018 lompat ke Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) 23/1959 tentang keadaan bahaya. Karantina Wilayah tidak disebutkan sama sekali. Ini mirip memotong tangkai berduri dari pohon bunga mawar pake gergaji besar. Tentu ini keliru," tegasnya.
Dengan demikian, kata Ubedilah, jika benar pemerintah langsung menerapkan darurat sipil setelah PSSB tanpa karantina wilayah, maka Presiden Jokowi telah melakukan pelanggaran konstitusi.
"Saya heran jika pasal yang disediakan oleh UU ini diabaikan oleh pemerintah. Pengabaian pada perintah UU bisa termasuk pelanggaran konstitusi," cetusnya.
Sementara, Presiden Joko Widodo juga berpotensi menjadi seorang otoriter dan kebebasan sipil akan terganggu jika Darurat Sipil ditetapkan di saat wabah virus corona baru atau Covid-19.
Ubedilah Badrun mengatakan, Perppu 23/1959 tentang Keadaan Bahaya merupakan Perppu yang isinya akan membuat kekuasaan menafsirkan secara subjektkf otoritarian.
"Perppu tentang darurat sipil itu perppu jadul yang sempat mau diubah pasca reformasi 1998. Isinya memungkinkan kekuasaan menafsirkan secara subyektif otoritarian dan kebebasan sipil dipastikan akan terganggu dalam skala nasional," ujarnya.
Ubedilah melanjutkan, pada pasal 17 Perpu 23/1959 menerangkan bahwa hak penguasaan darurat sipil yang sangat otoriter dan melakukan kontrol terhadap semua alat komunikasi dan pemberitaan. "Berbahaya jika langsung darurat sipil," tegas Ubedilah.
Pasal 17 Perppu 23/1959 sendiri berbunyi penguasa darurat sipil berhak mengetahui, semua berita-berita serta percakapan-percakapan yang dipercakapkan kepada kantor tilpon atau kantor radio, pun melarang atau memutuskan pengiriman berita-berita atau percakapan-percakapan dengan perantaraan tilpon atau radio.
Kemudian berhak membatasi atau melarang pemakaian kode-kode, tulisan rahasia, percetakan rahasia, tulisan steno, gambar-gambar, tanda-tanda, juga pemakaian bahasa-bahasa lain dari pada bahasa Indonesia.
Ketiga berhak, menetapkan peraturan - peraturan yang membatasi atau melarang pemakaian alat-alat telekomunikasi sepertinya tilpon, tilgrap, pemancar radio dan alat-alat lainnya yang ada hubungannya dengan penyiaran radio dan yang dapat dipakai untuk mencapai rakyat banyak, pun juga mensita atau menghancurkan perlengkapan-perlengkapan tersebut.
Dengan demikian, pernyataan yang disampaikan Jubir Presiden, Fadjroel Rachman, kata Ubedilah sangat keliru tidak melakukan karantina wilayah setelah melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
"Jadi informasi dari Fadjroel Rachman itu keliru, lompat dari Pembatasan Sosial Berskala Besar ke Darurat Sipil. Harusnya karantina wilayah, bukan darurat sipil," pungkas Ubedilah.(akw/RMOL/bh/sya) |