JAKARTA, Berita HUKUM - Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas menyampaikan kekhawatirannya terhadap sikap tak acuh Mahkamah Konstitusi atas gugatan yang telah disampaikan oleh dua belas orang yang berasal dari latarbelakang dan lembaga berbeda terhadap Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur mengenai ambang batas presiden sebanyak 20 persen.
"Pemilu diatur dalam UU, yang seharusnya mencerminkan moralitas pemberdaulatan pemilu. Ada indikasi tidak adanya pemberdaulatan pemilu. Pasal 222 ada unsur kapitalisasi pemilu," sesalnya pada Diskusi Publik bertema "Hapus Ambang Batas Nyapres, Darurat Demokrasi, Darurat Konstitusi" di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Selasa (31/7).
Unsur kapitalisasi pemilu yang dimaksud Busyro adalah persentasi 20 persen yang ditetapkan dalam presidential threshold. Selain itu, pembatasan ini menurutnya juga menimbulkan ancaman nyata bagi kualitas demokrasi sebuah bagi negara hukum dalam jangka waktu ke depan yang panjang.
"Dengan 20 persen itu demokrasi korup. Pertanyaannya apakah pemilu yang akan datang menghasilkan pemimpin yang tidak korup jika hasil 20 persen diambil dari pemilu 2014? Sistem pemerintahan seperti ini menghasilkan birokrasi yang korup," terangnya di depan para peserta diskusi yang diadakan oleh Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu.
Menyambung Busyro, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak menyatakan bahwa pasal 222 seolah merampas kegembiraan berdemokrasi dan mematikan nalar yang sehat.
"Ini seperti pemaksaan pada pilihan publik, kita dipaksa memakan menu yang tidak pernah kita pesan. Bagi Pemuda Muhammadiyah, yang jelas kami merasa kegembiraan berdemokrasi dirampas sehingga kami punya legitimasi moral untuk menggugat," ujar Dahnil.
Gugatan terhadap pasal 222 itu sendiri telah dikirimkan ke MK dan telah terhitung hampir dua bulan sejak 13 Juni 2018 dan sampai saat ini menurut Dahnil tidak menampakkan tanggapan yang serius dari MK. Dahnil dan 11 orang lainnya juga membantah terkait dengan salah satu partai politik. Gugatan yang dilakukan semata-mata demi terjaganya kualitas demokrasi yang baik.
"Disadari atau tidak ada deparpolisasi, ketika hanya ada satu atau dua calon, yang paling diuntungkan hanya dua parpol yang mendapat insentif elektoral. Yang lain mendapat kebangkrutan. Saya mau katakan MK melakukan diskriminasi jika mengacuhkan gugatan ini," tegas Dahnil.
Sementara itu, akademisi dan ahli politik Rocky Gerung yang turut menjadi narasumber dalam diskusi tersebut mendukung pendapat Busyro Muqoddas bahwa kroni di dalam politik akan merusak kualitas demokrasi yang sedang berjalan.
"Tugas MK adalah mengembalikan kepada konstitusi oleh karena itu seharusnya MK melakukan kegiatan yudisial yang aktif, bukan pasif. Kapitalisme itu baik sebab ada kompetisi, tapi kroni mematikannya. Konstitusi tidak boleh dirusak oleh kroni," ujarnya.
Turut hadir dalam acara tersebut pegiat HAM Haris Azhar, akademisi Effendi Ghozali, dan beberapa narasumber dari penggugat uji materiil pasal 222 ke MK seperti Feri Amsari, Titi Anggraini, Denny Indrayana dan Hadar Gumay.(affandi/muhammadiyah/bh/sya) |