JAKARTA, Berita HUKUM - Beberapa tahun terakhir krisis lingkungan di pulau Jawa semakin jelas terlihat. Laju pertumbuhan pembangunan yang semakin kencang mengakibatkan daya dukung lingkungan terabaikan.
Dibeberapa daerah sekarang sedang menunjukkan peningkatan pembangunan infrastruktur yang luar biasa seperti di Kota Batu Jawa timur, guna mendapatkan citra wisata sekarang ini, pemerintahan Kota Batu sedang giat membangun sarana perhotelan dan sarana fisik lainya. Pembangunan begitu cepat tanpa mengindahkan daya dukung lingkungan, padahal Kota Batu merupakan kota yang relatif baru, yaitu baru berdiri pada tahun 2001 yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Malang.
Kota Batu sebenarnya adalah wilayah yang diperuntukkan untuk wilayah serapan, dengan letak dilereng Gunung dan banyaknya mata air berada disana. Menurut Kepala Kantor Lingkungan Hidup Kota Batu bahwa hasil pemantauan kondisi mata air pada tahun 2005 ditemukan 53 mata air yang telah mati, dan 58 mata air lainnya mengalami penurunan debit. Pada tahun 2009, debit mata air terus mengalami penurunan dan beberapa mata air terdeteksi mengandung bakteri E-coli. Kondisi ini terjadi karena laju konservasi alam tidak seimbang dengan tingkat kerusakan yang terjadi. Mayoritas kerusakan yang terjadi tersebut diawali dengan alih fungsi kawasan lindung maupun lahan pertanian, yang lambat laun membuat kondisi lahan menjadi kritis.
Sejak tahun 2011 yang lalu, Kota Batu khususnya di dua kecamatan yaitu Kecamatan Bumi Aji dan kecamatan Batu, khsususnya 4 Desa yaitu Bulukerto, Bumiaji, Pandan Rejo, Sidomulyo dalam 3 tahun terakhir keras melakukan penolakan atas pembangunan Hotel The Rayja. Pembangunan Hotel The rayja tersebut mengancam sumber air Gemulo yang menjadi satu-satunya sumber air yang digunakan 4 Desa, dengan jumlah KK lebih dari 1.500 KK. Ijin pembangunan Hotel The Rayja (IMB) juga diduga terdapat indikasi mal administrasi, seperti salah tandangtangan, dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang sampai adanya indikasi pemalsuan surat dan tindak pidana lingkungan hidup karena izin dikeluarkan tanpa adanya dokumen lingkungan.
Berdasarkan hasil pengamatan dari Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA) diketahui bahwa lebih dari 65 persen mata air yang ada di Kota Batu berada pada lahan dengan kondisi kritis dan sangat kritis. Dalam catatan FMPMA presentasu lokasi mata air kritis sebanyak 57 (53%) titik, sangat kritis 15 (14%), baik 4 (4%) dan dalam kondisi normal sebenyak 32 (29%) kekawatirannya adalah kedepan kota Batu jadi krisis air, kata Muhammad Islah Manager Kampanye Kedaulatan pangan dan air.
Menurut manager kebijakan dan pembelaan hukum Walhi Eknas bahwa, sudah ada surat dari pemerintah kota batu untuk segera menghentikan pembangunan hotel Tha Rayja, karena muncul penolakan dari masyarakat akan tetapi pemilik hotel the rayja yaitu PT. Panggon Sarkarya Sukses Mandiri tetap melakukan kegiatan pembangunan.
“Penghentian aktitifitas pembangunan hotel tha rayja sudah benar secara hukum, karena diduga terdapat cacat administrasi dan dugaan pelanggaran pidana lingkungan dan pidana tata ruang” kata Muhnur Satyahprabu.
Dilain sisi perjuangan masyarakat ini dikriminalkan oleh aparat kepolisian pada Juni 2013, lima orang dipanggil Polres batu untuk dimintai keterangannya sebagai saksi atas laporan pemilik Hotel The Rayja. Tidak cukup dengan itu pemilik hotel The Rayja pada bulan agustus lalu melalui pengacaranya mengajukan gugatan perdata sebesar 30 milliar. “atas peristiwa ini menjadi kita batu uji terhadap keberadaan pasal 66 UU lingkungan bahwa setiap masyarakat yang berjuang menyelamatkan lingkungan dilindungi oleh undang-undang lingkungan hidup” tambah Muhnur.(rls/wlh/bhc/sya) |