JAKARTA, Berita HUKUM - Setiap tindak pidana menimbulkan dampak negatif terhadap individu dan masyarakat, baik berupa biaya jangka pendek dan biaya jangka panjang maupun biaya eksplisit dan implisit. Selain itu, biaya sosial kejahatan, termasuk korupsi, ditanggung oleh para pembayar pajak.
Hal tersebut diungkapkan Rimawan Pradiptyo, pakar ekonomi dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM pada acara Focus Group Discussion (FGD) bertema: “Biaya Sosial Korupsi: Telaah Konsep, Perhitungan, dan Penerapannya di Indonesia”, yang dilaksanakan pada Rabu (25/7), di auditorium KPK, Jln HR. Rasuna Said, Jakarta.
Dalam paparannya yang berjudul "Estimasi biaya sosial korupsi", Rimawan mencontohkan, nilai biaya eksplisit korupsi Rp73,07 triliun, namun total nilai hukuman finansial yang diberikan hanya Rp5,32 triliun atau hanya 7,29 persen. "Lalu, siapa yang menanggung sisa kerugian sebesar Rp67,75 triliun?" ungkapnya.
Rimawan menjelaskan, yang menanggung kerugian tersebut adalah tentu saja para pembayar pajak. "Bisa jadi itu adalah ibu-ibu pembeli sabun colek dan mi instan, anak-anak yang membeli permen, dan orang tua yang membelikan anaknya obat dan susu kaleng", paparnya.
Menurutnya, di Indonesia terjadi pemberian subsidi dari rakyat kepada koruptor dan hal ini sesuai dengan amanah implisit dari Undang-Undang Tipikor, yang memberi denda maksimum sebesar Rp 1 Miliar. Tuntutan dan putusan pengadilan tentang denda dan biaya pengganti pun tidak ada kaitannya dengan jumlah uang yang dikorupsi.
Selain itu, pencantuman denda maksimum di UU tipikor membuat efek jera menjadi lemah dengan semakin berjalannya waktu, karena infalasi di Indonesia tinggi. “Semakin tinggi inflasi, semakin rendah efek jera denda. Ini menunjukkan ada kebutuhan amandemen UU semakin mendesak”, ujarnya, seperti yang dirilis kpk.go.id pada Rabu (25/7).
UU Tipikor, lanjutnya, disusun tanpa memperhatikan rasionalitas pelaku atau calon pelaku korupsi dan menggunakan hukuman maksimum yang justru mendorong potential offenders untuk melakukan korupsi yang merupakan sinyal positif bagi calon pelaku korupsi. Potential offenders adalah mereka yang memiliki berbagai kekurangan, kemungkinan, kerentanan untuk melakukan kejahatan baik karena ekonomi, politik, budaya maupun fisik. Para potential offender ini diantaranya para penegak hukum yang dengan kedudukan/jabatannya, bisa melakukan pelanggaran dan kejahatan, dengan alasan kesejahteraan yang kurang. Atau juga orang-orang dengan status ekonomi dan sosial yang tinggi, memiliki jaringan luas dan kekuasaan untuk mengendalikan banyak hal.
Rimawan menegaskan, pencantuman hukuman maksimal justru merangsang pelaku atau calon pelaku untuk melakukan perhitungan tingkat korupsi yang menguntungkan. Idealnya, lanjut dia, hukuman finansial yakni denda dan biaya pengganti disetarakan dengan besarnya biaya sosial korupsi. “Penjatuhan hukuman finansial kepada koruptor setara dengan biaya sosial korupsi akan menjamin pemiskinan terhadap koruptor”, tandasnya.(kpk/bhc/sya)
|