Papua Pemblokiran Internet di Papua, 'Merugikan Perekonomian Daerah' dan 'Memicu Masalah' 2019-09-08 13:01:56
Akses internet di sejumlah wilayah telah kembali normal, namun di sebagian wilayah lain, termasuk di Jayapura, masih lumpuh akibat pemblokiran oleh pemerintah.(Foto: ANTARA FOTO/ZABUR KARURU/FOC)
PAPUA, Berita HUKUM - Pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat yang telah berlangsung selama lebih dari dua pekan dipandang "merugikan perekonomian daerah" dan "memicu masalah".
Secara bertahap, pemerintah membuka pemblokiran layanan data yang diberlakukan sejak 21 Agustus lalu, menyusul pecahnya aksi unjuk rasa di beberapa wilayah seperti Jayapura, Manokwari, Sorong, dan Fakfak.
Namun hingga Sabtu (07/09), warga Jayapura belum bisa mengakses internet. Hal ini diakui salah satu warga Papua, Raymond Waccano.
Pria berusia 47 tahun yang tinggal di Argapura, Kota Jayapura ini mengaku kecewa dengan langkah pemerintah yang memblokir internet. Hal itu membuatnya kesulitan mendapat informasi akan peristiwa yang terjadi di Jayapura, di tengah situasi yang masih bergejolak.
Isu yang berkembang di masyarakat justru menjadi liar karena kesulitan untuk mengonfirmasi.
"Kalau kayak begini kan serba salah juga," tutur Raymond kepada wartawan BBC News Indonesia Ayomi Amindoni, Jumat (6/9).
Imbas pemblokiran internet, menurut Raymond yang menjabat sebagai ketua RT di kampungnya itu, yaitu jika sebelumnya informasi kepada warga disebarkan melalui pesan di dalam grup aplikasi pesan daring, kini dia harus menggunakan cara lama, yakni menggunakan toa alias pengeras suara.
"Kebetulan ada toa, jadi kita kasih informasi lewat toa, minta kepada warga untuk tidak usah terlalu khawatir dengan keadaan, tetap tenang," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Walikota Jayapura Rustan Saru mengakui banyak warganya yang protes dengan pemblokiran internet yang jelas-jelas merugikan perekonomian yang bergantung dengan layanan internet.
"Termasuk pedagang-pedagang usaha, termasuk ojek daring yang juga protes, termasuk penjual tiket online juga protes, banyak yang protes," katanya.
Dia mengatakan, selama lebih dari dua pekan terakhir, akses internet hanya mengandalkan jaringan internet nirkabel (wifi) yang tersedia di beberapa titik saja. Ini membuat warga kesulitan mengakses media sosial dan aplikasi pesan daring.
Otomatis, komunikasi hanya bisa dilakukan melalui telepon dan pesan singkat.
"Memang masyarakat merasa terganggu dan bahkan ini memang sungguh merugikan perekonomian daerah," tegasnya.
"Aktivitas tidak bisa normal karena itu dan ini sudah berlangsung selama lebih dari sepuluh hari," imbuh Rustan.
Seperti diberitakan, pemerintah mulai membuka akses internet di Papua dan Papua Barat pada Kamis (05/09).
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mengatakan pencabutan blokir internet ini dilakukan setelah mendapat informasi bahwa "keadaan sudah cukup kondusif".
"Internet sudah dapat dinormalkan kembali, dengan catatan, jika keadaan memburuk - mudah-mudahan tidak - maka tentu pembatasan internet akan kami lakukan kembali," ujar Wiranto dalam konferensi pers yang digelar Kamis (5/9).
Akses internet di wilayah kerusuhan belum dibuka
Hingga Jumat (06/09), pemerintah baru membuka blokir layanan data internet di 21 kabupaten di Papua.
Sementara beberapa daerah tempat dimana demonstrasi sempat terjadi, seperti Mimika, Kota Jayapura dan Deiyai, layanan internet belum kembali normal.
"Delapan kabupaten di Provinsi Papua yakni Kabupaten Mimika, Paniai, Deiyai, Jayawijaya, Pegunungan Bintang, Numfor, Kota Jayapura, dan Yahukimo masih terus dipantau situasinya dalam satu atau dua hari ke depan," ujar Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ferdinandus Setu, dalam keterangan tertulis yang diterima Jumat (6/9).
Hal yang sama berlaku terhadap tiga kabupaten kota di Papua Barat, di antaranya Kota Manokwari, Kota Sorong dan Kabupaten Sorong, di mana sempat terjadi rentetan aksi demonstrasi yang berujung kericuhan.
Pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat lantas dipandang "memicu masalah" oleh anggota DPRD Kabupaten Jayapura, Karen Samonsabra.
"Kalau seperti itu dihentikan, saya kira Papua bukan bagian dari NKRI. Ini kan seolah-olah kita ini di Papua adalah wilayah penjajahan. Sebenarnya ini bagian dari rasisme menurut saya, karena menghentikan hal-hal yang bersifat umum," kata dia.
Sementara, Komisioner HAM PBB Michelle Bachelet yang angkat suara menanggapi eskalasi kekerasan di Papua di Papua Barat yang telah berlangsung selama dua pekan terakhir mendorong pemerintah Indonesia segera memulihkan akses layanan internet, sebab "bertentangan dengan kebebasan berekspresi dan pembatasan komunikasi bisa jadi malah memperparah ketegangan".
Tren kabar bohong dan hasutan menurun
Di sisi lain, pemerintah berkukuh pembatasan internet dilakukan untuk meredam kabar bohong, ujaran kebencian, hasutan dan provokasi terkait isu yang terjadi di Papua.
Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ferdinandus Setu, mengungkapkan puncak sebaran hoaks dan hasutan terkait isu Papua terjadi pada 30 Agustus 2019 dengan jumlah lokator sumber seragam (URL) mencapai 72.500.
Sementara itu, distribusi hoaks terus menurun menjadi 42 ribu URL di tanggal 31 Agustus 2019, 19 ribu URL di tanggal 1 September 2019, dan akhirnya pada 6 September, menjadi hanya 6.060 URL.
Pemerintah pun mengimbau masyarakat untuk tidak menyebarkan hoaks, kabar bohong, ujaran kebencian berbasis SARA, hasutan dan provokasi melalui media apapun termasuk media sosial, agar proses pemulihan kembali seluruh wilayah Papua dan Papua Barat cepat berlangsung.
Wakil Walikota Jayapura Rustan Saru sepakat bahwa kunci dari pembukaan blokir akses internet adalah "harus betul-betul bersih dari provokasi dan hoaks".
"Jadi kami minta masyarakat juga menahan diri untuk tidak lagi memposting foto-foto yang bisa memancing kerusuhan," ujar Rustan.
"Kata-kata yang bisa menggerakkan emosional masyarakat itu ditahan atau tidak disebarkan kepada masyarakat agar betul-betul ini pergerakkan isu-isu lewat hoaks yang ada di sosial bisa dihentikan dan saya yakin kalau ini sudah terhentikan, maka dengan mudah (akses internet) akan segera dibuka," tandasnya.(BBC/bh/sya)
PT. Zafa Mediatama Indonesia Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359 info@beritahukum.com