PALEMBANG, Berita HUKUM - Pada Kamis (16/5), sidang pembacaan putusan terhadap Anwar Sadat, Direktur WALHI Sumsel dan Dedek Chaniago (staf WALHI Sumsel) telah digelar di Pengadilan Negeri Palembang. Majelis Hakim yang diketuai Arnela SH memutus Anwar Sadat dan Dedek Chaniago secara sah dan meyakinkan keduanya melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 160 KUHP. Majelis Hakim juga memutus, Anwar Sadat dan Dedek Chaniago dihukum penjara selama 7 bulan dipotong masa tahanan.
Menanggapi pasal putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim tersebut, Tim Kuasa Hukum menilai bahwa, "Hakim yang telah berpendapat lain dari Jaksa Penuntut Umum dengan menggunakan pasal 160 KUHP sebagai dasar hukum keputusannya, hal ini berbeda dari surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang mendasarkan tuntutan pada pasal 170 ayat 2 ke-1 KUHP.
Manager Advokasi Kebijakan dan Pembelaan Hukum Eksekutif Nasional WALHI dan sekaligus tim kuasa hukum Anwar Sadat dan Dedek Chaniago, Muhnur Setyaphrabu SH menjelaskan bahwa, "Perbedaan ini sangat jelas mempengaruhi kekuatan pembuktian selama persidangan mereka berlangsung. Perlu diketahui bahwa Anwar Sadat dan Dedek Chaniago oleh Majelis Hakim bertanggung jawab atas aksi di depan markas kepolisian daerah Sumatera Selatan, karena pada saat itu kapasitas Dedek Chaniago sebagai koordinator aksi. Pengenaan pasal 160 KUHP menunjukkan bahwa Hakim telah gagal memahami konstruksi fakta dan pasal hukuman. Jika dihubungkan antara pasal yang didakwakan dengan fakta di persidangan, maka putusan ini adalah putusan mistake yuris (salah), karena selama persidangan tidak ada satupun saksi ataupun bukti rekamanan yang menunjukkan bahwa orasi mereka menimbulkan akibat pidana. Mengingat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-VII/2009 yang menyatakan bahwa pasal 160 KUHP adalah delik materiil artinya bahwa pasal 160 KUHP haruslah diikuti oleh perbuatan pidana lainnya," ujarnya.
Khalisah Khalid, Kepala Departemen Jaringan dan Pengembangan Sumber Daya WALHI, menyatakan bahwa, "pasal penghasutan yang digunakan sebagai dasar hukum oleh Majelis Hakim kepada aktivis lingkungan hidup dan agraria merupakan pasal usang, dan buruknya ini selalu digunakan oleh kekuasaan untuk melakukan pembungkaman terhadap aktifis yang lantang menyuarakan praktek ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa (korporasi dan negara) terhadap petani dan rakyat," tambahnya.
Apa yang disuarakan oleh Anwar Sadat dan Dedek Chaniago merupakan perjuangan untuk mendapatkan kedaulatan dan keadilan bagi petani yang selama ini tanahnya telah dirampas oleh PTPN VII Cinta Manis. Perjuangan yang dilakukan oleh aktifis WALHI dilindungi oleh Konstitusi dan perundang-undangan antara lain UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya pada pasal 66 yang memberikan perlindungan terhadap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dari tuntutan pidana dan perdata. Sayangnya, pasal yang sejatinya dinilai cukup progressif yang dimasukkan dalam penyampaian materi pembelaan (pledoi) Anwar Sadat dan Dedek Chaniago diabaikan oleh Majelis Hakim.
Atas putusan Majelis Hakim terhadap aktifis WALHI, pejuang lingkungan hidup dan tapol agraria, kami berkeyakinan bahwa upaya negara dan kuasa modal untuk membungkam aktifis dan petani dengan melakukan kriminalisasi dan tindak kekerasan tidak akan menyurutkan semangat untuk terus memperjuangkan hak-hak rakyat atas lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan. Terakhir WALHI menegaskan, sebagai organisasi lingkungan hidup yang tumbuh dan berkembang bersama dengan gerakan rakyat yang terorganisir dan terdidik, jalan ini merupakan bagian yang harus ditempuh oleh gerakan lingkungan hidup dan rakyat untuk merebut kembali sumber-sumber kehidupan yang telah dirampas oleh rezim otoritarian.(rls/wlh/bhc/opn) |