JAKARTA, Berita HUKUM - Deputi Pembudayaan Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga, Faisal Abdullah menyampaikan Undang-Undang tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) memberikan kepastian hukum bagi pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam upaya meningkatkan prestasi olahraga dan mengangkat harkat dan martabat bangsa pada tingkat internasional. Hal itu disampaikan Faisal pada sidang Pengujian UU SKN yang dimohonkan oleh Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), Rabu (29/4).
Mewakili Pemerintah/Presiden, Faisal mengatakan SKN merupakan landasan yuridis untuk mengatur semua permasalahan keolahragaan nasional yang semakin kompleks dan berkaitan dengan dinamika sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, dan bangsa, serta tuntutan perubahan global. Untuk mewujudkan kemampuan daerah dan masyarakat mengembangkan kebiasaan keolahragaan secara mandiri maka perlu memerhatikan asas desentralisasi, otonomi, peran serta masyarakat, profesionalitas, kemitraan, transparansi, dan akuntabilitas sistem pengelolaan pembinaan dan pengembangan keolahragaan nasional yang diatur dengan semangat kebijakan ekonomi daerah.
Oleh karena itu, Faisal mengatakan penanganan keolahragaan tidak dapat lagi ditangani secara sekadarnya, tetapi harus ditangani secara profesional. Sementara prinsip transparansi dan akuntabilitas diarahkan untuk mendorong ketersediaan informasi yang dapat diakses, sehingga dapat memberikan peluang bagi semua pihak untuk berperan serta dalam kegiatan keolahragaan, memungkinkan semua pihak untuk melaksanakan kewajibannya secara optimal dan kepastian untuk memperoleh haknya, serta memungkinkan berjalannya mekanisme kontrol.
Sebagai wujud kepedulian dalam pembinaan dan pengembangan olahraga, masyarakat dapat berperan serta dengan membentuk induk organisasi cabang olahraga pada tingkat pusat dan daerah. Namun , organisasi kelembagaan yang dibentuk oleh masyarakat membutuhkan dasar hukum agar kedudukan dan keberadaannya lebih kuat.
“Dengan adanya Undang-Undang tentang Sistem Keolahragaan Nasional akan memberikan kepastian hukum bagi Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam kegiatan keolahragaan dalam mewujudkan masyarakat dan bangsa yang gemar, aktif, sehat, dan bugar, serta berprestasi dalam olahraga. Dengan demikian, gerakan pemasyarakatan olahraga dan mengolahragakan masyarakat, serta upaya meningkatkan prestasi olahraga dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa pada tingkat internasional, sesuai dengan tujuan dan sasaran pembangunan nasional yang berkelanjutan,” ujar Faisal.
Menanggapi dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 36 ayat (1) dan ayat (3) UU SKN memberikan ketidakpastian hukum karena multitafsir, Faisal menyampaikan frasa “komite olahraga” dalam pasal a quo adalah penulisan yang tidak harus dimaknai sebagai penamaan atau nomenklatur suatu badan atau lembaga. Sebab, frasa tersebut dituliskan menggunakan huruf kecil sehingga dapat diartikan sebagai kebijakan pembentuk undang-undang untuk menyediakan wadah organisasi dalam bentuk komite sebagai pilihan bagi masyarakat yang ingin berperan serta dalam membentuk induk organisasi cabang olahraga tingkat pusat dan daerah.
“Oleh karena itu terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa komite olahraga nasional dalam Ketentuan Pasal 36 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang a quo memiliki makna multitafsir sangat tidak berdasar dan tidak beralasan baik secara norma maupun faktual. Mengingat, masyarakat induk organisasi cabang olahraga melakukan pembinaan olahraga prestasi sudah memutuskan dan/atau mengambil suatu pilihan bahwa makna komite olahraga nasional adalah KONI sebagaimana yang disepakati dan diputuskan dalam musyawarah olahraga nasional luar biasa, tanggal 30 Juli 2007,” ungkap Faisal.
Lebih lanjut, Faisal pun mengutarakan bahwa dalil Pemohon yang menganggap KONI sebagai wadah tunggal berdasarkan Keppres Nomor 72 Tahun 2001 keliru. Sebab, dilihat aspek historis lahirnya Keppres Nomor 72 Tahun 2001, KONI pada saat itu memang diposisikan sebagai badan hukum publik tunggal yang melakukan pembinaan dan pengembangan olahraga dan prestasi.
Namun, hal itu terjadi karena keberadaan Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga dilebur dalam satu Direktorat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional, sehingga tugas dan tanggung jawab KONI dalam membantu pemerintah sangat strategis.
“Namun demikian kedudukan KONI sebagai wadah tunggal pada waktu itu sudah tidak sesuai dan bertentangan dengan kedudukan Komite Olahraga Nasional yang beragam pasca lahirnya Undang-Undang SKN,” papar Faisal.
Sementara itu, DPR yang diwakili Anggota Komisi III DPR RI, Ruhut Sitompul menyatakan UU SKN telah memberikan landasan hukum dan kepastian hukum yang kuat bagi masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan olahraga dengan cara membentuk induk cabang olahraga, baik pada tingkat pusat maupun daerah. Induk cabang olahraga dimaksud kemudian membentuk suatu komite olahraga.
Pada tingkat pusat, dibentuk Komite Olahraga Nasional, sedangkan pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota dibentuk Komite Olahraga Provinsi dan Komite Olahraga Kabupaten/Kota. Komite-komite olahraga dimaksud dibentuk untuk membantu pengelolaan olahraga yang dilakukan oleh pemerintah, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Berdasarkan hal itu, DPR, seperti yang disampaikan Ruhut, menganggap dalil Pemohon yang menyatakan frasa “komite olahraga” dalam Pasal 36 ayat (1) dan (2) keliru. Sebab, sudah sangat jelas bahwa yang dimaksud komite olahraga adalah suatu komite olahraga yang dibentuk oleh induk organisasi cabang olah raga sesuai dengan tingkatannya.(Yusti Nurul Agustin/mh/mk/bhc/sya) |