JAKARTA, Berita HUKUM - Penghargaan yang diberikan kepada kelompok masyarakat maupun perorangan yang dianggap berjasa dalam melestarikan Lingkungan muncul semenjak tahun 1980. Penghargaan yang kemudian dikenal dengan sebutan KALPATARU tersebut merupakan bentuk apresiasi atas upaya-upaya swadaya masyarakat yang peduli dan secara serius berupaya melestarikan lingkungan hidup di sekitarnya, Jakarta 3 September 2013.
Demikian juga halnya dengan ketiga tokoh pelestari lingkungan dari tanah batak, yaitu; Bapak Marandus Sirait; Bapak Wilmar Eliaser Simanjorang dan Bapak Hasoloan Manik, mereka secara konsisten melestarikan lingkungan dan mendorong perbaikan kondisi lingkungan di sekitar mereka.
“Kondisi lingkungan yang terkait dengan keberadaan hutan serta ekosistem yang baik merupakan karunia Tuhan yang tidak bisa dinilai dengan uang, demikian kata Bapak Wilmar Eliaser Simandjorang. Sehingga kami kecewa dengan kebijakan pemerintah yang abai terhadap upaya pelestarian yang kami lakukan”.
Lebih lanjut Bapak Marandus Sirait menyatakan, “kami tidak meminta banyak dari pemerintah, kami hanya minta mereka juga konsisten dan bersama-sama masyarakat turut melindungi lingkungan yang ada serta tidak membiarkan praktek perusakan lingkungan terjadi bahkan memfasilitasi praktek perusakan itu dengan memberikan ijin-ijin konsesi kepada perusahaan-perusahaan yang merusak hutan dan lingkungan”.
Bapak Hasoloan Manik menambahkan, “kerusakan hutan dan lingkungan yang terjadi membawa dampak buruk bagi masyarakat, belum lagi hutan-hutan warisan nenek moyang kami yang telah berjasa menghidupi generasi ke generasi dirusak dan diambil begitu saja berdampak pada penghancuran nilai-nilai luhur yang telah turun-temurun diwariskan oleh nenek moyang”.
“Pengembalian KALPATARU dan WANA LESTARI ini merupakan bentuk kekecewaan kami atas peri laku aparat Pemerintah yang belum menunjukan keseriusannya dalam melestarikan lingkungan dan hutan. Bagi kami, penghargaan ini menjadi beban dan kami malu kepada masyarakat di tanah batak lainnya yang masih mengalami penderitaan akibat kerusakan hutan dan lingkungan serta ketidak pedulian pemerintah”, demikian ungkap ketiga tokoh ini.
“Pemerintah harusnya sadar, bahwa pemberian penghargaan saja tidak cukup. Pelibatan masyarakat dalam melestarikan hutan dan lingkungan hendaknya dinilai dengan penghargaan yang lebih tinggi, penghargaan atas Hak Hidup dan Hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak serta Lingkungan yang baik dan sehat”, demikian ungkap Pengkampanye Hutan WALHI, Zenzi Suhadi.
Pengembalian KALPATARU dan WANA LESTARI yang dilakukan oleh ketiga tokoh tersebut menurut kami adalah suatu ekspresi masyarakat pada umumnya yang merasa diabaikan oleh sikap tidak tegas pemerintah dalam menegakan hukum lingkungan, melestarikan lingkungan dan memberikan pengakuan atas hak masyarakat adat/local dalam mengelola hutan.
Pemerintah terlalu banyak membuat jargon yang tidak mampu dilaksanakannya serta berprilaku diskriminatif terhadap masyarakat. Sikap seperti ini memperlihatkan bahwa apparatus Negara selalu absen dalam menyelesaikan problem rakyat dan selalu terlambat dalam merespon permasalahan-permasalahan yang muncul.(rls/wlh/bhc/rby) |