JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Pemerintah menginginkan penguatan intelijen melalui RUU Intelijen. Pasalnya, intelijen selama ini tidak memiliki kewenangan penangkapan. Padahal, hal itu snagat penting untuk mencegah aksi terorisme. Demikian dikatakan juru bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha kepada wartawan di kantor Presiden, Jakarta, Senin (26/9).
Menurut dia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginginkan penguatan intelijen melalui payung hukum. Upaya preventif yang efektif harus memberikan kewenangan penangkapan kepada intelijen. "Indonesia pernah punya sistem negara bisa menangkap orang begitu saja tanpa proses bertele-tele, tanpa ketakutan HAM. Tapi kini, kondisinya berbeda dan tidak mudah bagi polisi dan intelijen melakukan aksi lebih konkret, karena tidak memiliki dasar hukum," jelas dia.
Dalam beberapa kasus serangan teroris dan konflik horisontal, lanut dia, intelijen telah dapat informasi mengenai kelompok yang dicurigai sebagai pelaku sebelum kejadian. Namun, penangkapan tidak dapat dilakukan.
"Sebelumnya memang intelijen sudah dapat info ada kelompok dicurigai, berpotensi untuk melakukan suatu tindakan teroris. Tapi untuk menangkap atau menciduk orang yang dianggap berpotensi menciptakan suatu keresahan atau menimbulkan koran jiwa tak dapat dilakukan," imbuhnya lagi.
Namun, ungkap Julian, pemerintah masih tidak ingin berpolemik atas kewenangan itu. Tapi diharapkan RUU Intelijen yang tengah dibahas di DPR itu dapat segera disahkan tanpa harus menimbulkan polemik di masyarakat. “Intinya, pemerintah berniat untuk menyelamatkan kepentingan umum, bukan partai politik,” tandas dia.
Sementara itu, Koordinator Kontras Haris Azhar mencurigai adanya korelasi antara teror bom Solo dengan pembahasan RUU Intelijen di DPR. "Pernyataan para politisi dan pejabat pemerintahan seakan mengarahkan perlunya percepatan pengesahan RUU Intelijen ini, karena situasi teror yang terjadi di masyarakat," jelas dia.
Momentum lain yang harus dicermati, lanjut Haris, adalah saat pembahasan RUU Intelijen wilayah eks konflik (Ambon dan Poso) yang masih banyak menyisakan persoalan traumatik warga dan hak-hak keperdataan mulai diusik. "Kami meminta Kapolri untuk mengusut tuntas peristiwa ini dan mengefektifkan intelijen Polri untuk mendeteksi agar peristiwa kekerasan dan konflik tidak meluas," ujarnya.
Kontras juga meminta DPR RI untuk tidak memaksakan diri mengesahkan RUU intelijen dengan justifikasi pemberian kewenangan BIN dalam penanganan peristiwa teror bom di Solo. "Polri tetap harus menjadi garda terdepan dalam menjaga keamanan masyarakat dengan mengefektifkan semua peran institusi Negara lain sebagai pendukungnya," pungkasnya.
Pasal Pendalaman
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti menyatakan, ada beberapa pasal dalam RUU Intelijen yang masih bermasalah. Satu di antaranya adalah Pasal 32 jo Pasal 35 tentang pendalaman. Pasal pendalaman pengganti istilah pemeriksaan intensif 7x24 jam oleh BIN melanggar KUHAP dan merusak criminal justice system.
"Istilah pendalaman adalah pengganti istilah pemeriksaan intensif dalam draft. Jelas hal ini melanggar KUHAP, karena tidak dikenal dalam sistem hukum RI. Jika itu ada, kami sudah memasukkan intelijen ke dalam ranah hukum, dan ini membahayakan, mengancam kriminal justice system, merusak tugas-tugas aparat kepolisian dan kejaksaan," jelas dia.
Menurutnya, istilah pendalaman bersifat karet dan mengancam kebebasan dan demokrasi, dan seharusnya tidak digunakan dalam kesempatan apapun. Selain itu, istilah pendalaman hanyalah perubahan istilah yang bersifat manipulatid untuk meredam kontroversi dari banyak kalangan terkait adanya klausul pemberian kewenangan pemeriksaan intensif kepada BIN dalam draft RUU Intelijen sebelumnya. “Istilah pendalaman itu harus dihapus,” tegas dia.(mic/wmr/irw/rob)
|