JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Ada yang salah dari cara Pemerintah dalam melakukan pengaturan BBM Bersubsidi. Ha itu terutama dalam mengendalikan laju pertumbuhan kendaraan dan pembenahan sistem transportasi massal.
“Sejauh ini kami sepakat bahwa alokasi BBM Bersubsidi itu salah sasaran, karena rakyat miskin justru lebih sedikit menerima subsidi BBM,” kata anggota Komisi VII DPR RI Sohibul Iman dalam pers rilisnya yang Jumat (9/9).
Menurut Sohibul, pemerintah harus mengambil langkah yang jauh lebih strategis dalam mengatasi bobolnya subsidi BBM ini dan tidak serta dengan membebankan pada APBN. Jika terjadi tambahan kuota BBM Bersubsidi berarti dana subsidi yang ditanggung APBN 2011 akan membengkak.
Dana tersebut semula 38,5 juta kiloliter (setara Rp 95,9 triliun), lalu dinaikkan lewat APBN-P menjadi 40,5 juta kiloliter (setara Rp 117 triliun), dan saat ini akan dinaikan lagi jadi 41,8 Juta kiloliter. Berarti beban keuangan negara akan semakin berat.
Sebelumnya, Dirut PT Pertamina Karen Agustiawan menyatakan, BBM bersubsidi akan melampaui kuota APBN-P 2011, karena adanya pertumbuhan realisasi konsumsi lima tahun terakhir untuk premium sebesar 8 persen per tahun ditambah juga adanya pertumbuhan konsumsi solar 6 persen per tahunnya. Selain itu, rata-rata pertumbuhan kendaraan mencapai 14,73% per tahun (dari tahun 2000-2009).
Atas dasar itu, Sohibul melihat awal tahun 2011 ini Pemerintah sebenarnya sudah punya program pengendalian BBM Bersubsidi dengan membatasi konsumsi BBM Bersubsidi hanya untuk kendaraan roda dua, kendaraan umum dan kendaraan pengangkut barang/usaha kecil.
Alat pengendalinya pun sudah tinggal disempurnakan, ada RFID (Radio Frequency Identification), sistem Barcode atau smart card. "Kalau memang serius dengan kekhawatiran membengkaknya subsidi BBM, maka pemerintah harus segera melakukan pengaturan distribusi BBM subsidi. Teknologi pengaturannya sudah ada, harus menunggu apa lagi?" tandasnya.(tnc/ind)
|