THAILAND, Berita HUKUM - Setelah bertahun-tahun di bawah rezim militer, warga Thailand akhirnya bisa ikut pemilu lagi. Banyak pemilih muda berharap adanya perubahan mendasar dan pengaruh keluarga kerajaan mengendur.
Jika tidak ada perubahan dramatis, Thailand akan melaksanakan pemilihan umum????? hari Minggu, 14 Mei 2023, sejak militer tahun 2014 di bawah pimpinan Jenderal Prayut Chan-o-cha melakukan kudeta dan menggulingkan pemerintahan sipil. Tahun 2019 memang dilakukan pemilihan umum, tetapi militer mengatur ketat partisipasi dan menyeleksi para kandidat demi meloloskan lagi Jenderal Prayut Chan-o-cha memerintah untuk masa jabatan kedua.
Pada 2020, puluhan ribu warga Thailand mengambil bagian dalam gelombang protes menolak pemerintahan dukungan militer. Para demonstran muda secara terbuka menuntut reformasi monarki Thailand yang hidup mewah meriah dan dilindungi dari kritik oleh undang-undang anti penghinaan yang sangat luas.
Rezim menanggapi aksi protes dengan tindakan keras, menahan, dan menuntut ribuan orang. Hal ini pada akhirnya menyebabkan gerakan prodemokrasi menyusut, tetapi sampai sekarang ketidakpuasan terhadap aliansi monarki dan militer belum hilang.
Di media sosial, banyak warga Thailand masih mengajukan pertanyaan tentang keluarga kerajaan yang secara tradisional dianggap sakral. Sekalipun risikonya cukup besar, karena mengkritik monarki di Thailand bisa diganjar hukuman hingga 15 tahun penjara.
"Ini bukti bahwa anak muda Thailand sekarang lebih percaya pada hak dan kebebasan mereka untuk mengkritik lembaga apa pun dengan peran politik dan yang menggunakan uang pembayar pajak," kata Puangthong Pawakapan, profesor ilmu politik di Universitas Chulalongkorn, kepada DW.
Membuat politik mudah dicerna
Mengingat semakin besarnya kekecewaan terhadap pemerintah, warga Thailand, khususnya kaum muda, berharap pemilihan umum pada 14 Mei nanti akan menjadi titik balik perubahan. "Semua orang berharap pemilihan ini akan mengubah hidup mereka dan negara," kata aktivis prodemokrasi Patsaravalee Tanakitvibulpon.
Patsaravalee hanyalah salah satu dari banyak orang di Thailand yang mendambakan negaranya untuk menjadi dewasa dalam demokrasi. Dalam upayanya mendorong reformasi struktural, dia sering muncul di Facebook Lives "untuk menormalkan perdebatan tentang masalah politik", yang menurutnya sulit didiskusikan di negara Asia Tenggara itu. Perempuan berusia 27 tahun itu mengadakan debat dengan para kandidat dari berbagai spektrum untuk menguraikan kebijakan dan janji mereka kepada pemilih.
Meskipun partai-partai politik hingga kini secara eksplisit menghindari menjanjikan perubahan pada Pasal 112 hukum pidana Thailand yang mengacu pada kejahatan lese-majeste. Selama beberapa dekade, tuntutan reformasi monarki dianggap sebagai hal yang terlarang dan tabu. Namun, sejak protes yang dipimpin pemuda tahun 2020, warga Thailand menjadi lebih sadar akan pengaruh monarki dan cengkeramannya.
Protes jalanan saja tidak cukup
Beberapa aktivis pendukung demokrasi kini sampai pada kesimpulan bahwa protes jalanan saja tidak cukup untuk membawa perubahan politik. Mereka bergabung dalam berbagai aksi dan mencalonkan diri untuk jabatan politik. Salah satunya adalah Piyarat Chongthep, mantan pemimpin kelompok relawan yang menjaga para pengunjuk rasa. Dia berharap bisa menjadi anggota parlemen untuk Move Forward Party yang mendukung reformasi.
"Saya ingin membantu memastikan bahwa suara-suara itu akan didengar," kata Piyarat kepada DW. Aktivis yang mernjadi kandidat anggota parlemen itu mengatakan dia ingin "mendorong kebijakan yang mempertimbangkan apa yang dituntut oleh para pengunjuk rasa, apakah itu tentang tentara, konstitusi, atau monarki."
Bahkan jika dia tidak berhasil masuk parlemen, Piyarat bertekad untuk tetap bekerja mewujudkan reformasi. "Saya hanya ingin ada prinsip dasar hidup bersama dalam masyarakat: Satu, demokrasi. Dua, keadilan. Tiga, kebebasan berekspresi. Dan terakhir, persaingan bebas dan sehat," tegasnya.(hp/ha/DW/bh/sya)
|