JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Desakan sejumlah kalangan untuk mengevaluasi keberadaan Pengadilan Tipikor di daerah sangat beralasan. Pasalnya, pengadilan tersebut sekarang ini telah berubah menjadi surganya bagi koruptor akibat banyaknya vonis bebas bagi terdakwa kasus dugaan korupsi tersebut.
Selain itu, fenomena ini diakibatkan pemaksaan perluasan cabang-cabang pengadilan tipikor di daerah. Atas dasar tersedbut, sebaiknya pengadilan tipikor cukup berada di kota-kota besar saja, agar kontrol dan pengawasan bisa dilakukan secara ketat. "Pengadilan Tipikor cukup di Jakarta, Medan, dan Makassar. Hal ini untuk memudahkan pengawasan,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nurkholis Hidayat di Jakarta, Senin (7/11).
Menurut dia, keterbatasan sumber daya manusia yang terbatas membuat Pengadilan Tipikor di daerah kurang efektif. Apalagi keberadaan hakim karier maupun hakim ad hoc yang mumpuni untuk bertugas di pengadilan tipikor daerah masih sedikit. Pemusatan pengadilan tipikor di tiga kota besar dapat lebih menjamin independensi majelis hakim dari tekanan politik.
Basis massa koruptor yang rata-rata penguasa daerah, jelas dia, berpotensi menekan majelis hakim di pengadilan tipikor di daerah. Selain itu, keberadaan Pengadilan Tipikor di tiga kota besar lebih memudahkan pengawasannya oleh publik. “Biayanya juga lebih hemat dari segi biaya negara. Masalah pengawasan yang lebih penting," jelas dia.
Sementara itu, anggota Komisi III dari Fraksi PKS Nasir Djamil menyatakan, hasil evaluasi Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) terhadap keberadaan pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) di daerah menjadi penentu keberlangsungan pengadilan tipikor daerah.
"Jika dalam putusan bebas memang ada indikasi suap, maka putusan itu bisa diselidiki oleh KY. Saya mendesak agar KY dan MA melakukan evaluasi dan menyelidiki putusan bebas tersebut," ujar dia.
Permintaan penghapusan pengadilan tipikor saat ini mengemuka, kata Nasir, karena masyarakat kecewa dengan sejumlah vonis bebas terhadap terdakwa koruptor. Hal ini merupakan kritik keras terhadap akuntabilitas dan transparansi di pengadilan tipikor.
“Hasil evaluasi ini diharapkan menjadi masukan bagi pemerintah dan DPR untuk mempertimbangkan perlu-tidaknya penghapusan pengadilan tipikor di daerah,” imbuh Nasir.
Berdasarkan data yang dikeluarkan Indonesia Coruption Watch (ICW), tercatat 40 terdakwa kasus korupsi yang dibebaskan oleh sejumlah Pengadilan Tipikor di daerah. Putusan itu masing-masing dikeluarkan Pengadilan Tipikor Samarinda sebanyak 14 terdakwa, Pengadilan Tipikor Semarang (satu terdakwa, Pengadilan Tipikor Surabaya (21 terdakwa), Pengadilan Tipikor Bandung (empat terdakwa).(mic/irw/rob)
|