JAKARTA, Berita HUKUM - Jakarta, 10 Juli 2013. Baru saja MK mengeluarkan putusan tentang Hutan Adat (Keputusan MK No. 35/PUU/X/2012) dimana negara diwajibkan mengakomodir hak masyarakat adat dalam mengelola hutannya dan dengan kata lain Negara (Pemerintah) tidak boleh mengklaim secara sepihak kepemilikan atas hutan, Rabu (10/7).
Sebelumnya MK juga mengeluarkan keputusan No. 45/PUU-IX/2011 dimana MK membatalkan definisi kawasan hutan dalam UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan serta mendefinisikan ulang penunjukan kawasan hutan yang tidak boleh sepihak.
Namun DPR RI berbicara lain dengan membuat Undang Undang Pencegahan dan Pemberantasan Pengerusakan Hutan (UU P3H) yang masih menganggap bahwa seluruh kawasan hutan adalah domain pemerintah sebagaimana pada Bab I pasal 1 ayat (2) Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Dengan demikian, DPR RI dan Pemerintah telah abai dalam menjalankan mandate konstitusi.
Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Abetnego Tarigan menyatakan; UU P3H berbicara soal perlindungan lingkungan hidup (pelestarian hutan untuk tujuan perlindungan lingkungan hidup) “bahwa pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan harus dilaksanakan secara tepat dan berkelanjutan dengan mempertimbangkan fungsi ekologis, sosial, dan ekonomis serta untuk menjaga keberlanjutan bagi kehidupan sekarang dan kehidupan generasi yang akan datang” (Menimbang poin b); tetapi tidak mencantumkan UU PPLH (32/2009) sebagai salah satu konsideran.
Abetnego juga menambahkan bahwa makna dikeluarkannya UU P3H ini sebetulnya sangat jelas, DPR RI dan Pemerintah menyadari bahwa Kementerian Kehutanan Tidak mampu mengelola wilayah/kawasan hutan di Indonesia sehingga DPR RI dan Pemerintah berinisiatif untuk membuat satu Undang-undang baru untuk membereskan permasalahan pengawasan dan penindakan pelanggaran tindak pidana kehutanan.
Dengan dikeluarkannya UU P3H ini maka semakin jelas bagi rakyat Indonesia bahwa Kementerian Kehutanan tidak mampu menegakkan forest governance yang baik. Disisi lain UU P3H ini menegaskan bahwa kinerja penegakan hukum lingkungan tidak mampu dijalankan dengan baik oleh Kementerian Lingkungan Hidup.
WALHI menilai melalui UU P3H ini, secara nyata Pemerintah dan DPR RI melanggengkan praktek perusakan hutan “secara ilegal” oleh korporasi dengan menggunakan ijin sebagai tindak pembenar, sebab melalui UU P3H ini selama korporasi memiliki ijin maka tidak akan terjerat oleh pasal manapun dalam UU P3H ini. Dengan diberlakukan UU P3H ini pemerintah dan DPR RI melanggengkan dan memperkuat rezim perijinan dimana semua pasal mengenai pengerusakan hutan menjadi tidak berlaku dengan syarat perusahaan mendapatkan ijin (baik itu ijin menteri maupun pejabat berwenang lainnya).
Ini kemudian berdampak pada tingginya harga ijin dan tentu akan menguntungkan oknum birokrat aparat “penjual” ijin dikementerian-kementerian/lembaga terkait ataupun di level daerah. Rezim perijinan ini ramah terhadap korporasi tetapi menghilangkan akses masyarakat terhadap ruang-ruang produksinya, demikian simpul Abetnego.
Yang menjadi tajuk utama hutan dalam UU P3H ini adalah Peruntukan Hutan/Kawasan Hutan bukan pada Fungsi Hutan. Sedangkan ijin tidak menjamin keberlanjutan fungsi hutan. Ini bisa dilihat pada pertambangan, secara fungsi hutan akan berubah bahkan fungsi hutan akan hilang.
Sehingga walau berijin keberlanjutan fungsi hutan tidak terjamin melalui UU ini. Dalam UU ini tidak mengatur pasca tambang (rehabilitasi atau setidak tidaknya reklamasi), sehingga tidak akan menjadi pelanggaran apabila perusahaan tambang tidak mampu mengembalikan fungsi hutan pasca tambang, sementara dalam UU disebutkan (poin b, Menimbang) "bahwa pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan harus dilaksanakan secara tepat dan berkelanjutan dengan mempertimbangkan fungsi ekologis, sosial, dan ekonomis serta untuk menjaga keberlanjutan bagi kehidupan sekarang dan kehidupan generasi yang akan datang."
Dalam poin ini mengandung makna kerusakan yang diakibatkan oleh pertambangan harusnya juga menjadi poin utama yang diperhatikan. Namun poin b dalam Menimbang ini tertutupi oleh pasal 17 poin b melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri; dan pasal 13 ayat (2) Penebangan pohon yang dilakukan dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dihindari dengan mendapat izin khusus dari Menteri.
Dalam UU ini juga tidak mengatur bagaimana dengan pembakaran hutan sebab sasaran dari UU P3H ini telah didefinisikan hanya untuk pembalakan liar sebagaimana pada Pasal 1 ayat (3). Sebagaimana disampaikan di atas terkait ijin menteri, UU P3H ini tidak mengatur bagaimana kerusakan akibat ijin pinjam pakai kawasan hutan atau bagaimana dengan ijin pinjam pakai kawasan hutan tetapi dikategorikan sebagai kegiatan yg mempunyai tujuan strategis (tidak dijelaskan apa tujuan strategis dlm UU ini).
Menurut Deddy Ratih, Manager Advokasi Bioregion Eksekutif Nasional WALHI; Salah satu alasan kelahiran UU P3H ini adalah untuk memperlancar koordinasi antar sektor, namun kita ketahui bahwa begitu banyak perundang-undangan sektoral Sumberdaya Alam, sementara berdasarkan kenyataannya koordinasi antar sektor hampir tidak terlihat, kami sangat tidak yakin koordinasi lintas sektoral terjadi dengan lahirnya UU P3H ini. Kita bisa lihat tumpang tindih peruntukan kawasan, lemahnya penegakan hukum dan lambannya tindakan pemerintah selama ini.
Pemberlakuan UU P3H sama sekali tidak memiliki korelasi dengan Pelestarian Lingkungan (pelestarian hutan), UU P3H ini memandatkan “pelestarian” melalui perijinan. Sehingga upaya masyarakat adat/local dalam melestarikan hutan tidak akan mampu bersaing dengan perusahaan yang mendapatkan ijin pelestarian (ijin pemanfaatan hutan).
Konteks pemanfaatan dan pelestarian sangat jauh berbeda sehingga sangat sulit dipahami bagaimana mungkin UU P3H ini mengkategorikan pemanfaatan hutan sebagai upaya pelestarian.
Konteks pelestarian Lingkungan Hidup adalah upaya untuk mencegah, menjaga dan menghormati keberlanjutan lingkungan hidup yang sudah seharusnya mendapatkan dukungan dari pemerintah, dengan UU P3H ini, upaya pelestarian hutan harus mendapatkan ijin terlebih dahulu dari pemerintah.
Pasal mengenai perijinan pemanfaatan hutan ini bertentangan dengan semangat UU PPLH No. 32 tahun 2009 dan juga Pasal 28H ayat (1) Undang Undang Dasar 1945, demikian imbuh Deddy lebih lanjut.(wlh/bhc/rby) |