Oleh: Arrista Trimaya, SH., MH
KEKERASAN SEKSUAL yang menimpa anak kembali terjadi. Publik dikejutkan dengan kematian Eno (18 tahun) yang sangat sadis. Eno ditemukan tewas mengenaskan setelah diperkosa dan dibunuh oleh pacarnya sendiri. Sebelum kematian eno, juga telah terjadi beberapa kematian yang diakibatkan kekerasan seksual, seperti yang menimpa Yuyun (14 tahun), NH (14 tahun), bahkan seorang balita berinisial LN (2,5 tahun). Beberapa kasus yang telah disebutkan mempunyai kesamaan, yaitu mayoritas pelaku kekerasan seksual adalah anak dan yang menjadi korban kekerasan seksual juga anak.
Kasus kekerasan seksual di Indonesia beberapa tahun terakhir terus meningkat. Data Catatan Tahunan (catahu) 2015 dari Komisi Nasional Perempuan menunjukkan, kekerasan seksual pada ranah personal mencapai 72 persen (2.399 kasus) dari keseluruhan kasus kekerasan terhadap perempuan. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan, kasus pornografi dan napza meningkat hampir 2 kali lipat pada tahun 2013 dan 2014. Pada tahun 2013 tercatat sebanyak 51 kasus, meningkat pada tahun 2014 hingga 100 kasus. Selain itu, laporan KPAI dari bulan Januari hingga September 2014 menunjukkan, 53 persen kasus melibatkan anak sebagai korban, 43 persen sebagai pelaku, dan sisanya sebagai saksi (Republika, 20 Mei 2016)
Dari banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan yang terjadi, menuntut peran aktif Negara dalam memberikan perlindungan dan pemulihan kepada korban. Perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual tidak lagi dapat ditunda, terutama dengan menunjukkan peran dan tanggung jawab Negara untuk mengatasinya. Berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan, setidaknya terdapat 15 bentuk kekerasan seksual. Kelima belas bentuk tersebut adalah: perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, intimidasi, ancaman dan percobaan perkosaan, prostitusi paksa, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, kontrol seksual seperti: pemaksaan busana dan deskriminasi perempuan lewat aturan, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan perempuan, dan pemaksaan sterilisasi/kontrasepsi. (http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2015/02/Executive-Summary-Kekerasan-Seksual.pdf).
Pengertian Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual (sexual abuse ) didefinisikan sebagai perlakuan pra-kontak seksual antara anak dan orang yang lebih besar, melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibitionism, maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dan orang dewasa melalui incest, perkosaan, dan eksploitasi seksual (Abu Huraerah, 2012). United Nations of Children's Fund (UNICEF) mendefinisikan kekerasan seksual sebagai tindakan yang mengarah ke ajakan/desakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, dan/atau melakukan tindakan lain yang tidak dikehendaki oleh korban, memaksa korban menonton produk pornografi, gurauan seksual, ucapan yang merendahkan dan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/seks korban, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban dengan kekerasan fisik maupun tidak, memaksa melakukan aktivitas seksual yang tidak disukai, serta merendahkan, menyakiti, atau melukai korban. (Poerwandari E Kristy, 2000). Terry E Lawson mengklasifikasikan kekerasan terhadap anak menjadi 4 bentuk, yaitu: emotional abuse (kekerasan emosional), verbal abuse (kekerasaan melalui kata-kata), physical abuse (kekerasan secara fisik), dan sexual abuse (kekerasan seksual).
Kekerasan Seksual Dalam Peraturan Perundang-Undangan
KUHP tidak mengenal istilah kekerasan seksual atau pelecehan seksual, melainkan hanya mengenal istilah perbuatan cabul, yang diatur dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP. Istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Dalam pengertian tersebut, segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul, yaitu segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya; cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba buah dada dan sebagainya (R. Soesilo, 1995). Untuk perbuatan cabul tersebut ancaman pidana penjara diatur paling lama tujuh tahun.
Pada tanggal 11 Juni 2014 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Terhadap Anak. Dalam Instruksi Presiden tersebut, Presiden menginstruksikan kepada para menteri, Jaksa Agung, Kapolri, Kepala Lembaga non Pemerintah, Gubernur dan Walikota, untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing melakukan pencegahan dan pemberantasan kejahatan seksual terhadap anak melalui Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Terhadap Anak (GN-AKSA), yang melibatkan seluruh unsur masyarakat dan dunia usaha. Instruksi Presiden tersebut juga mengatur pemberian penanganan yang cepat kepada korban kejahatan seksual terhadap anak, termasuk pengobatan secara fisik, mental, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya.
Materi muatan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014 kemudian disempurnakan dan sebagian diatur kembali dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hal ini disebabkan dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dianggap belum mengatur perlindungan anak secara komprehensif, misalnya belum ada pengaturan mengenai perlindungan dari kekerasan seksual yang banyak menimpa anak dan belum dapat memberikan perlindungan terhadap anak yang dieksploitasi.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perubahan Perlindungan Anak) mengatur juga mengenai kekerasan seksual. . Pasal 1 angka 15a menyebutkan kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. Ancaman pidana bagi pelaku kekerasan seksual pada anak diatur dalam Pasal 76D, "Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Larangan melakukan kekerasan terhadap anak diatur dalam Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014: "Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak." Dengan demikian, pelaku kekerasan terhadap anak yang melanggar ketentuan Pasal 76C dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, sebagai berikut:
Pasal 80
(1) Setiap orang yang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah)
(2) Dalam hal anak tersebut luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal anak tersebut mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga apabila yang melakukan penganiayaan terhadap anak tersebut adalah orang tuanya.
Ketentuan Pasal 80 tersebut menjelaskan bahwa pidana dijatuhkan kepada pelaku kekerasaan pada anak yang diatur dalam Pasal 80 ayat (2) dan ayat (3). Namun, jika kasus kekerasan terhadap anak dilakukan oleh orang tuanya, maka hukuman pidana ditambah 1/3 (sepertiga) sebagaimana diatur dalam Pasal 80 ayat (4).
Walaupun jika dilihat dari peraturan perundang-undangan telah banyak mengatur mengenai anak, khususnya UU Perlindungan Anak dan UU Perubahan UU Perlindungan Anak. Namun penegakan hukum peraturan perundang-undangan tersebut belum efektif. Hal ini ditandai dengan masih banyak ditemukan kasus kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis, maupun seksual terhadap anak seperti yang telah dijelaskan dalam kasus-kasus di atas. Sangat ironis mengingat seharusnya anak harus dilindungi dan diberikan kasih sayang, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dampak yang muncul akibat kekerasan terhadap anak sangat mengerikan. Anak dapat menjadi depresi, fobia, mengalami mimpi buruk, bahkan curiga terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama. Ada pula yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dan menjalin interaksi dengan orang lain (Sulistyaningsih & Faturochman, 2002).
Pelaku kasus kekerasan yang terjadi pada Eno dan Yuyun adalah anak. Dengan demikian pelaku tunduk pada 2 ketentuan Undang-Undang yaitu, UU Perubahan UU Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU Sistem Peradilan Pidana Anak). UU Perubahan UU Perlindungan Anak sudah menerapkan konsep restorative justice atau keadilan restoratif, yang telah disinkronisasikan dengan ketentuan Pasal 1 angka 6 UU Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Tujuannya adalah untuk melindungi anak yang menjadi pelaku kejahatan dan anak yang menjadi korban kejahatan. Namun beberapa kalangan berpendapat bahwa pelaku kekerasan seksual harus dihukum mati atau dihukum kebiri (kerastasi).
Wacana Penjatuhan Pidana Mati atau Kebiri (Kerastasi)
Penjatuhan pidana mati sudah cukup lama berlangsung, tidak terkecuali Indonesia yang masih mencantumkan pidana mati dalam hukum positifnya, dalam Pasal 10 KUHP. Di Indonesia pidana mati masih diperlukan sebagai alat pencegah bagi orang agar tidak melakukan kejahatan berat. Pada tahun 1952 di Belanda dikeluarkan undang-undang tentang hukum pidana pada waktu perang yang mempertahankan pidana mati bagi kejahatan-kejahatan tertentu yang dilakukan selama perang atau yang hanya merupakan tindak pidana pada waktu perang. Ditemukan pula, bahwa pidana mati hanya dapat dijatuhkan oleh pengadilan dengan suara bulat para hakim, tetapi tidak lagi dengan syarat, bahwa kemanan Negara menuntutnya (Wirjono Projodikoro, 1989).
Sampai saat ini penjatuhan pidana mati terhadap suatu tindak pidana masih menjadi pro dan kontra di masyarakat. Keberatan yang dirasakan oleh masyarakat terhadap penjatuhan pidana mati adalah bahwa penjatuhan pidana mati ini tidak dapat diperbaiki lagi apabila di kemudian hari terbukti bahwa putusan hakim yang menjatuhkan pidana mati itu berdasar atas kekeliruan atau keterangan-keterangan yang ternyata tidak benar. Penerapan pidana mati terhadap jenis dan kualitas kejahatan tertentu dilaksanakan sesuai dengan filosofi pemidanaan di Indonesia. Selain itu, dalam hukum pidana, sangatlah sulit untuk menghilangkan sama sekali adanya kesan retributif (pembalasan) pemidanaan itu karena aspek retributif tersebut memang melekat pada sifat sanksi pidana itu sendiri.
Dipertahankannya pidana mati juga didasarkan pada ide untuk menghindari tuntutan atau reaksi masyarakat yang bersifat balas dendam, emosional, sewenang-wenang, tidak terkendali, atau bersifat "extra-legal execution", artinya disediakannya pidana mati dalam Undang-Undang dimaksudkan untuk memberikan saluran emosi/tuntutan masyarakat. Dengan adanya pidana mati dalam suatu undang-undang diharapkan penerapannya oleh hakim dan penegak hukum akan lebih efektif dan berdasarkan pertimbangan yang rasional atau terkendali. (Barda Nawawi Arief, 2010). Secara sosiologis, pidana mati dapat menimbulkan efek jera atau dapat mengurangi timbulnya kejahatan dipengaruhi oleh hakekat sanksi, kepastian dan persepsi terhadap sanksi, maupun kecepatan-kecepatan penindakan atau penerapan sanksi. Sanksi dapat bersifat positif dan negatif. Sanksi berwujud imbalan dan negatif berwujud hukuman. (Ratih Lestarini, 2007).
Wacana hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual muncul dalam rancangan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang sudah selesai disusun dan akan diusulkan Presiden Joko Widodo ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kementerian Sosial termasuk penyusun dan pengkaji usulan Perpu tersebut bersama kementerian dan lembaga negara lainnya, seperti Menteri Hukum dan HAM, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Hukuman kebiri yang akan diatur berupa kebiri kimiawi yaitu dengan cara menyuntikkan hormonal untuk mematikan nafsu seksual bagi pelaku tindak kekerasan seksual. Hukuman itu akan diterapkan jika ada hal-hal yang melingkari proses kejahatan seksual misal ada penganiayaan sampai pembunuhan. Selain opsi tambahan hukuman berupa kebiri kimiawi, dalam rancangan Perpu, juga diusulkan opsi tambahan lain untuk membuat efek jera bagi pelaku pedofilia. Jika disetujui DPR, maka Perpu itu akan menggantikan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun. 2002 tentang Perlindungan Anak. (https://m.tempo.co/read/news/2016/05/15/063771139/menteri-khofifah-hukuman-kebiri-tak-memotong-kelamin).
Terlepas dari jenis pidana yang akan dijatuhkan kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak, jenis pidana yang dijatuhkan kepada pelaku haruslah dilihat sebagai upaya untuk mengembalikan harmoni sosial yang terganggu akibat kejahatan itu. Keadilan baru dapat dirasakan jika harmoni sosial dihapuskan. Artinya, yang membutuhkan upaya-upaya restoratif sesungguhnya adalah masyarakat yang harmoni sosialnya terganggu oleh adanya kejahatan tadi. Penjatuhan pidana mati tidak hanya dilihat dari pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan saja, tetapi juga dari penegak hukum, sarana dan prasarana pendukung, kondisi masyarakat, dan budaya yang berlaku di masyarakat. Penegak hukum dalam menerapkan penjatuhan pidana mati atau kebiri tidak hanya untuk menegakkan hak asasi manusia, namun juga harus didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Selain itu, Penjatuhan pidana mati atau Kebiri akan efektif dalam bagi anak pelaku kekerasan seksual haruslah diharmonisasikan dengan prinsip yang diatur dalam Undang-Undang sistem Peradilan Pidana Anak yang mengedepankan diversi dan keadilan restoratif (Ismala Dewi, 2015). Konsep diversi yang ada dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak wajib diupayakan dalam setiap tahapan peradilan mulai dari penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Selain itu peran lembaga lain (seperti Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, dan Pembimbing Kemasyarakatan) sangat penting untuk mendukung diwujudkannya keadilan restoratif, khususnya bagi anak pelaku kekerasan seksual.
Bahan Bacaan
Abu.Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Bandung: Nuansa Cendekia, 2012.
Barda Nawawi Arief, Masalah Pidana Mati Dalam Prespektif Global dan Prespektif Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia, Dirjen PP Depkumham, Jakarta: 2007.
Poerwandari .E Kristi. Kekerasan Terhadap Perempuan: Tinjauan Psikologi Feministik Kelompok Kerja "Convention Wacth", Jakarta: Pusat Kajian Wanita dan GenderUniversitas Indonesia, 2000.
Ismala Dewi, Ed. Sistem Perdilan Pidana Anak: Peradilan Untuk Keadilan Restoratif, P3DI Setjen DPR RI dan Azza Grafika, 2013.
Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Ketentuan Pidana Mati Dalam Perkara Nomor 2/PUU-V/2007 dan Dalam Perkara Nomor 3/PUU-V/2007 (Judicial Review Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika).
Ratih Lestarini, Efektivitas Hukuman Mati, Jurnal Legislasi Indonesia, Dirjen PP Depkumham, Jakarta: 2007.
R. Soesesilo, Kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, 1995.
Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Eresco, Bandung: 1989.
*Penulis adalah Perancang Undang-Undang Bidang Kesejahteraan Rakyat pada Badan Keahlian DPR RI.(at/bh/sya)
|