JAKARTA, Berita HUKUM - Aturan penyadapan konstitusional sepanjang dimaknai atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya. Demikian putusan MK Nomor 20/PUU-XIII/2015 terhadap permohonan yang diajukan oleh mantan Ketua DPR Setya Novanto. Putusan tersebut dibacakan Ketua MK Arief Hidayat didampingi delapan hakim konstitusi lainnya, Rabu (7/9) di Ruang Sidang Pleno MK.
"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Frasa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa "Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik" sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik," ujar Arief.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan Hakim Konstitusi Manahan Sitompul, penyadapan harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar hak privasi warga negara yang dijamin UUD 1945 tidak dilanggar. Apabila memang diperlukan, lanjutnya, penyadapan harus dilakukan dengan izin pengadilan agar ada lembaga yang mengontrol dan mengawasi sehingga penyadapan tidak dilakukan sewenang-wenang. Ia mengemukakan ketentuan penyadapan di Indonesia sudah diatur dalam beberapa undang-undang, namun belum diatur mengenai hukum acaranya.
"Sehingga menurut Mahkamah untuk melengkapi kekuranglengkapan hukum acara tentang penyadapan, maka Mahkamah perlu memberi tafsir terhadap frasa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang termuat dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Tipikor," terangnya.
Terkait Pasal 26A UU Tipikor yang mengatur alat bukti yang sah dalam tindak pidana korupsi, Manahan menjelaskan setelah Mahkamah meneliti pasal a quo, Mahkamah tidak mendapati frasa "informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik" di dalam Pasal 26A tersebut. "Namun demikian, jikapun norma Pasal 26A dapat diartikan sebagai frasa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik seperti yang didalilkan oleh Pemohon, maka pertimbangan Mahkamah mengenai frasa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE mutatis mutandis berlaku pula bagi Pasal 26A UU Tipikor," paparnya.
Permintaan Penegak Hukum
Dalam putusannya, Mahkamah mengungkapkan sampai saat ini belum terdapat undang-undang yang secara khusus mengatur tentang penyadapan. Oleh karena itu, untuk mengisi kekuranglengkapan hukum tentang penyadapan, termasuk di dalamnya perekaman, agar tidak semua orang dapat melakukan penyadapan, maka penafsiran bersyarat yang dimohonkan oleh Pemohon terhadap frasa "informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik" dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Tipikor beralasan hukum.
Lebih lanjut, untuk mencegah terjadinya perbedaan penafsiran terhadap Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, Mahkamah menegaskan bahwa setiap intersepsi harus dilakukan secara sah, terlebih lagi dalam rangka penegakan hukum.
"Oleh karena itu, Mahkamah dalam amar putusan di bawah ini akan menambahkan kata atau frasa khususnya terhadap frasa yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon agar tidak terjadi penafsiran bahwa putusan ini akan mempersempit makna atau arti yang terdapat di dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE," tambahnya.
Penegasan tersebut, menurut Mahkamah, perlu dilakukan dalam rangka due process of lawsehingga perlindungan terhadap hak-hak warga negara sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 terpenuhi. Selain itu, sebagai pemenuhan atas Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Hal tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi tindakan sewenang-wenang atas hak privasi warga negara yang dijamin dalam UUD 1945.
Alat Bukti yang Sah
Mahkamah juga menegaskan penyadapan bisa dijadikan alat bukti yang sah. Dalam hukum pembuktian, rekaman pembicaraan adalah real evidence atau physical evidence. Pada dasarnya barang bukti adalah benda yang digunakan untuk melakukan suatu tindak pidana atau benda yang diperoleh dari suatu tindak pidana atau benda yang menunjukkan telah terjadinya suatu tindak pidana. Dengan demikian, rekaman pembicaraan dapat dijadikan bukti sebagai barang yang menunjukkan telah terjadi suatu tindak pidana asalkan memenuhi kaidah hukum pembuktian pidana yang dikenal dengan bewijsvoering, yaitu penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di pengadilan.
"Ketika aparat penegak hukum menggunakan alat bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak sah atau unlawful legal evidence, bukti dimaksud dikesampingkan oleh hakim atau dianggap tidak mempunyai nilai pembuktian oleh pengadilan. Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian," tandasnya.
Dissenting Opinion
Dalam putusan tersebut, dua hakim memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Suhartoyo. Palguna menilai seharusnya permohonan pemohon tidak dapat diterima karena kedudukan pemohon sebagai anggota DPR tidak memenuhi syarat. Sementara Suhartoyo menilai permohonan pemohon seharusnya ditolak dengan alasan permohonan pemohon a quo dipenuhi oleh UU ITE.
"Seharusnya Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon dinyatakan ditolak, karena apa yang dipermasalahkan oleh Pemohon sudah dipenuhi oleh UU ITE, khususnya Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang a quo, sehingga tidak ada pertentangan norma antara Pasal 5 ayat (1) dan (2), Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Tipikor dengan UUD 1945, dan konstitusional adanya," terangnya.
Dalam permohonannya, Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE yang menyatakan informasi atau dokumen elektronik merupakan salah satu alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Pengadilan yang sah. Selain itu, Pemohon juga merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 26A UU KPK yang menyatakan bahwa alat bukti yang sah yakni berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat serta dokumen yang setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik.
Sementara, saat pewarta BeritaHUKUM.com menghubungi salah satu pengacara Syaefullah Hamid, SH, MH sebagai kuasa hukum Setya Novanto mengatakan, "jadi intinya bahwa, keputusan itu mengabulkan pemohon pak Setya Novanto, dan menyatakan bahwa, alat bukti rekaman yang jadi alat bukti itu hanyalah alat bukti rekaman yang diambil berdasarkan perintah penegak hukum. Dalam pertimbangan putusan MK itu secara jelas disebutkan bahwa, perekaman yang dilakukan bukan atas perintah penegak hukum itu adalah tindak pidana, sebagaimana diatur dalam UU ITE pasal 31," jelasnya, Kamis (8/9).
"Jadi dalam case ini dan putusan MK itu, sebenarnya bukan Setya Novanto (mantan Ketua DPR RI) yang harus diperiksa itu, tapi Ma'ruf Syamsudin ( mantan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia), karena berdasarkan putusan itu dia sudah melakukan tindak pidana," tegasnya.
Selanjutnya, waktu dahulu pihak Kepolisian yang menolak laporan dari Setya Novanto, "berarti kalau saat ini berdasarkan putusan MK ini pak Setnov mau melaporkan kembali, maka seharusnya Polisi harus menerima, dong," pungkasnya,(LuluAnjarsari/lul/MK/bh/sya) |