MEDAN, Berita HUKUM - Mengenai surat edaran Pemerintah Kota (Pemko) Lhoksumawe melalui Walikotanya Suhaidi Yahya, yang menyatakan wanita dilarang mengangkang saat berada di atas sepeda motor baik mengendarai maupun berboncengan, mendapat tanggapan pro dan kontra dari beberapa pakar serta praktisi-praktisi sosial di Indonesia. Terutama komentar pakar sosial di Medan, yang mempunyai tanggapan-tanggapan yang berbeda tentang kebijakan tersebut.
Di Medan, M Iqbal pakar sosial yang juga seorang dosen pengajar Ilmu Sosiologi di Universitas Negeri Medan (Unimed) berkomentar, surat edaran tersebut memberikan dampak pemangkasan dan pembatasan hak persamaan wanita serta merugikan kaum perempuan.
"Untuk hal seperti ini bisa menimbulkan pro dan kontra. Jika dipandang dari kacamata sosial, yang seperti ini dapat menimbulkan pemangkasan hak persamaan genre. Saya melihat rencana wacana membuat kebijakan oleh Pemerintah Kota Lhoksemauwe sebagai kebijakan yang bias gender. Kebijakan tersebut tentunya merugikan kaum perempuan karena menurut hemat saya tidak memiliki dasar sama sekali dan ini tentunya akan membatasi perempuan dalam melakukan kegiatannya," ujarnya, Minggu (6/1).
Iqbal juga menerangkan baik wanita maupun pria, jika seseorang mengendarai kendaraan roda dua posisi mengendarainya memang sedikit mengangkang. "Logikanya jika wanita dan laki-laki saat mengendarai sepeda motor, ya yang seperti dilihat emang seperti itu posisinya. Hal seperti ini jika dipandang dari pandangan islam dan sosial sangat berbeda. Jika dilarang mengangkang saat berkendara roda dua, kalau begitu dilarang saja wanita membawa kendaraan, seperti yang diberlakukan di arab saudi dan negara timur tengah lainnya," jelas Iqbal.
Ditanyai menyangkut larangan wanita duduk mengangkang saat mengendarai kendaraan roda dua jika diterapkan di kota Medan, dikatakan dosen tetap Unimed ini akan menjadi kontroversi di masyarakat dan akan ada penekanan terhadap wanita.
"Secara sosiologis, persoalan tersebut dapat dilihat dari segi kontekstual (kondisi-teks). Nilai atau norma yang berlaku disuatu tempat dan berkaitan dengan bagaimana orang-orang mengonstruksikan secara sosial suatu hal itu dianggap benar atau salah. Dalam kasus ini, sepertinya pelarangan terjadi hanya pada konteks perempuan dan tidak semua jenis kelamin (pria-wanita), seolah-olah perempuan dikonstruksikan sebagai obyek yang salah, dan kenapa laki-laki tidak juga diberlakukan?," terangnya.
Iqbal juga mempertanyakan apakah ada sebuah kajian yang menggambarkan beberapa lelaki yang hilang ingatan atau 'nafsu' ketika melihat perempuan duduk mengangkang saat mengendarai sepeda motor.
"Subtansi dari wacana tersebut juga tidak terlihat, apakah sebelumnya pernah dilakukan penelitian apa di kota Lhoksumawe angka pelecehan dan pemerkosaan tinggi akibat mengangkang?, atau apakah ukuran untuk menunjukkan nilai-nilai budaya dan agama hanya sebatas mengatur duduk perempuan dalam berkendara? sekiranya, Pemko Lhoksumawe harus memikirkan dengan melakukan penelitian, pengkajian, serta pendalaman sebelumnya terhadap kebijakan yang akan dibuat. Sehingga, suatu kebijakan yang dikeluarkan nantinya tidak memiliki implikasi sosial dan meresahkan masyrakat," jelasnya.
Iqbal juga berharap kedepannya agar suatu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah agar memandang serta meninjau beberapa sektor demi kemajuan pembangunan suatu daerah, tanpa harus ada yang ditekan maupun dibatasi.
"Oleh karena itu, menurut saya yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah setempat adalah membuat kebijakan-kebijakan yang rasional, kebijakan yang berbasis sensitif gender. Dengan kata lain perempuan lebih dipertimbangkan dalam pembangunan, akses pendidikan, pekerjaan, dan tidak membedakan hak-hak perempuan dalam sektor publik. Hal seperti itu jauh lebih penting daripada membuat suatu kebijakan yang kurang mendasar," tegas dosen tetap Unimed ini.
Sebelumnya pada Jumat 4 Januari 2013 kemarin, Walikota Lhoksumawe Suhaidi Yahya mengeluarkan edaran agar para perempuan di kota itu tak duduk ngangkang kala membonceng sepeda motor yang dinilai tak berdasarkan sejarah islam.
Hal senada juga diutarakan oleh Tengku Fauzan SH selaku Sekretaris Majelis Ulama Nanggroe Aceh (Muna) Wilayah Pasee Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhoksumawe yang mengatakan larangan duduk mengangkang tersebut, sebagai pelaksanaan penegakkan Syariah Islam di Kota Lhoksumawe tersebut. "Duduk ngangkang bagi perempuan yang dibonceng kendaraan roda dua tidak baik menurut ajaran agama islam, sebagai contoh ketika duduk ngangkang artinya perempuan sudah pakai celana dan ini sudah melanggar. Secara ilmu Fiqih haram hukumnya, terutama lewat pakaian. Haram perempuan pakai pakaian menyerupai orang laki-laki (celana)," ujar Fauzan.(bhc/fiq) |