JAKARTA (BeritaHUKUM.com) - Kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) pilkada DKI masih belum selesai. Pihak-pihak yang menolak penetapan DPT karena dinilai masih banyak bermasalah disarankan untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Ini sudah ada presedennya, yaitu di pilpres 2009 lalu. MK memutuskan soal hak memilih. Jadi ini bisa ditempuh saat ini jika menilai masih banyak masalah dalam DPT," ujar peneliti lembaga Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Veri Junaidi, sebagaimana dilansir detikcom, Jumat (8/6).
Lebih lanjut Veri mengatakan ketika pilpres 2009 lalu, kasus yang hampir sama terjadi saat ini, yaitu perselisihan mengenai daftar pemilih. Pihak-pihak yang menolak DPT yang ditetapkan KPU akhirnya mengajukan gugatan ke MK, dan menang. MK memutuskan setiap warga negara memiliki hak meski tidak terdaftar dalam DPT, dengan syarat menunjukkan bukti kependudukan yang dapat diverifikasi pada saat pencoblosan, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), paspor, ataupun kartu keluarga (KK).
"Ini mirip dengan pilpres 2009. Waktu itu waktunya sangat mendesak, sementara perselisihan tidak selesai. Ini ada presedennya, ajukan saja ke MK. Supaya yang tidak terdaftar bisa diakomodir pada saat pemilihan," kata Veri.
Menurutnya, pihak-pihak yang berpolemik soal DPT ini dapat duduk bersama untuk mencari jalan keluar yang disepakati tanpa harus bersikeras dengan sikap masing-masing. Mengingat waktu efektif pelaksanaan pemilihan gubernur DKI kurang dari 1 bulan lagi.
Jika KPU DKI tetap bersikukuh dengan sikap untuk jalan terus dengan tidak mengakomodasi pihak-pihak yang menolak, sementara pihak yang menolak DPT mengancam akan memboikot pilkada, maka menurut Veri akan membuat situasi pilkada DKI semakin kisruh.
"Yang paling penting menurut kami dari proses ini, kalau kedua pihak masih bersikukuh dan tidak kompromi, bisa membuat kekisruhan pilkada. Supaya tidak ada kegaduhan, semua pihak harus berkomitmen. Sekarang DPT sudah ditetapkan, tapi kalau dimasalahkan terus, akan mengganggu tahapan. Yang dirugikan warga Jakarta sendiri, pilkada menjadi ditunda, anggaran bertambah, dan pemerintahan tidak berjalan. Harus ada jalan tengah yang diambil kedua pihak," pungkasnya.
KPU DKI Jakarta telah menetapkan DPT pada Sabtu 2 Juni lalu. Namun dari enam timses pasangan calon yang hadir, hanya timses pasangan Foke-Nara yang mengakui dan menandatangani DPT tersebut. Sementara lima timses pasangan lain menolak menandatangani dengan alasan masih banyaknya pemilih ganda dan fiktif dalam DPT yang jumlahnya tidak dapat ditoleransi. Bahkan lima timses pasangan cagub tersebut menempuh jalur hukum terkait masalah ini.
Sementara KPU DKI Jakarta menegaskan DPT telah final dan tidak dapat dilakukan perubahan. Menurutnya, langkah yang dilakukan KPU DKI telah sesuai dengan undang-undang dan peraturan.
"Setelah DPT ditetapkan, sudah tidak bisa diganggu gugat lagi. Kita jalan terus, kita tidak mau tersandera oleh hal-hal seperti itu (pengaduan daftar pemilih),” ujar Ketua Pokja Pendataan Pemilih KPU DKI, Aminullah, di kantor KPU Jakarta, Jl Budi Kemulyaan, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu. (bhc/dtc/rat)
|