JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada), Selasa (17/1) dengan nomor perkara 2/PUU-XV/2017. Pemohon adalah Suta Widya yang berprofesi sebagai humas sebuah organisasi.
Pemohon menguji Pasal 7 ayat (2) huruf i UU a quo yang berbunyi, "Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian."
Selain itu Pemohon menguji Pasal 45 ayat (2) huruf b angka 4, "Dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: ... b. surat keterangan ... 4. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf 1 ..."
"Calon kepala daerah yang pernah melakukan perbuatan tercela tidak patut untuk menjadi peserta pilkada. Jika calon kepala daerah pernah melakukan perbuatan tercela, hal tersebut sangal kontradiktif dengan semangat bela negara," kata Suta kepada Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna sebagai pimpinan sidang panel.
Menurut Pemohon, salah satu calon gubernur DKI Jakarta pernah melakukan perbuatan penistaan terhadap agama. Perbuatan tersebut merupakan salah satu bentuk perbualan tercela dan sudah sepatutnya mengundurkan diri dari keikutsertaannya sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Jika tetap melanjutkan keikutsertaannya dalam pilkada, ia menilai hal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayal (1) dan (2) UUD 1945.
"Calon kepala daerah sebelum dan selagi dalam tahapan Pilkada haruslah mempunyai reputasi, track record yang tidak tercela. Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Hal itu dibuktikan dengan tidak adanya kasus sebagai tersangka dari pihak kepolisian," ujar Suta.
Selain itu, menurutnya, calon kepala daerah sebelum dan selagi dalam tahapan pilkada berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. "Ini artinya, calon kepala daerah tidak boleh bertindak dan berperilaku yang kontradiktif dengan semangat bela negara. Semua warga negara berhak dan wajib melakukan tindak bela negara," tambah Suta.
Nasihat Hakim
Hakim Konstitusi, I Dewa Gede Palguna mengingatkan Pemohon bahwa pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi bukan dimaksudkan untuk mengadili perkara konkret.
"Saya melihat logika permohonan Saudara terbalik. Saudara melihat ada kasus yang menurut Saudara melanggar undang-undang, tapi kemudian Saudara menyalahkan undang-undang, bagaimana ini? Saudara mempersoalkan kenapa terhadap calon tertentu yang Saudara sebutkan tadi itu tidak diambil tindakan oleh penyelenggara pemilu, begitu kan? Kok masih tetap dia melaju itulah kalau istilahkan kalau Saudara kan? Tetapi undang-undang yang dipersalahkan?" papar Palguna.
Hal lain, Palguna mencermati sistematika permohonan Pemohon kurang tertata dengan baik. Palguna menyarankan Pemohon untuk melihat contoh permohonan pengujian Undang-Undang di laman MKRI.
"Dibuka saja di website Mahkamah Konstitusi atau tanya kepada panitera, nanti salah satu contohnya bisa dilihat, supaya sistematika permohonan Saudara bisa jelas. Jadi Saudara enggak perlu berputar-putar membuat permohonan," jelas Palguna.(ARS/lul/MK/bh/sya) |