Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Nusantara    
Lampung
Perspektif Filsafat Sosial pada Komunitas Adat Pubian di Lampung
Friday 30 Nov 2012 01:10:19
 

Prof.Dr. A. Fauzie Nurdin, M.S.(Foto : Ist)
 
JAKARTA, BeritaHUKUM - Masyarakat Lampung memiliki karakteristik budaya muakhi yang sarat filosofi lokal. Budaya muakhi--secara sederhana ditafsirkan persaudaraan--menjadi budaya Lampung yang diwariskan leluhur secara lestari. Muakhi juga menjadi keadaban atau etika, dan peradaban Lampung dengan membentangkan persaudaraan, ukhuwah, dan silaturahmi secara terbuka.

Demikian inti sari dari bedah buku yang berjudul Budaya Muakhi dan Pembangunan Daerah Menuju Masyarakat Bermartabat buah karya Prof.Dr.H.A. Fauzi Nurdin, M.S. Kamis (29/11) di Jakarta. Selain penulis, sebagai panelis dalam bedah buku Dr.S.Wijonarko, S.Sos,MM,M.Sc (Assisten Teritorial Panglima TNI) dan Prof.Dr.Phil.H.M Nur Kholis Setiawan (Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI).

Bentangan kearifan-kearifan budaya Lampung, khususnya muakhi, membentuk kesadaran intelektualitas Prof.Dr. A. Fauzie Nurdin, M.S., seorang putra Lampung yang secara telaten menyelisik budaya muakhi melalui kajian akademis dalam disertasi yang mengantarkannya meraih doktor ilmu filsafat di Universitas Gadjah Mada (UGM), medio Desember 2008. Resonansi intelektualitas dosen Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung ini terefleksikan dalam buku berjudul Budaya Muakhi dan Pembangunan Daerah Menuju Masyarakat Bermartabat.

Buku yang diangkat dari disertasi Fauzie Nurdin terbagi delapan bagian. Pada bagian pertama, diulas ihwal budaya muakhi dalam perspektif budaya Lampung yang kemudian dilihat juga relasinya dalam perspektif Islam; sehingga terbangun sebuah ide bahwa kehidupan masyarakat Lampung tidak terlepas dari nilai-nilai adat dan Islam secara integral.

Muakhi secara konseptual dipahami sebagai nilai etis dalam budaya lokal yang teraktualisasi secara dinamis. Untuk menemukan relevansi muakhi dalam pembangunan daerah, meniscayakan adanya redefenisi pemaknaan muakhi sehingga melahirkan rekonstruksi sosial di Lampung, yakni menjadi model dan modal merajut persaudaraan dalam konstruk ketulusan dan kejujuran.

Dalam konteks ini, penulis buku yang lama bergelut di berbagai organisasi sosial keagamaan ini berangkat dari dua asumsi dasar untuk membangun konseptualisasi muakhi dalam perspektif filsafat sosial. Pertama, adanya pandangan filosofis yang teraktualisasi dalam bentuk-bentuk etis sebagai dasar integrasi masyarakat lokal berbasis persaudaraan yang tetap dilestarikan. Kedua, muakhi ditempatkan sebagai etika sosial sehingga dapat digunakan sebagai pendekatan menyelesaikan distegrasi dan konflik sosial, guna memuluskan arah pembangunan daerah (hlm. 5).

Selain itu, pemosisian muakhi yang berdimensi local wisdom dalam sistem sosial dapat dipahami dari adanya komunitas lokal yang memiliki kemampuan, daya tahan yang sejalan dengan nilai-nilai baru dari komunitas luar.

Memaknai muakhi sebagai etika sosial tidak terlepas dari akar kulturalnya. Muakhi yang berasal dari kata puakhi--yang berarti saudara kandung dan saudara sepupu--lebih luas lagi, kemuakhian menjadi sistem persaudaraan antarmarga. Nilai-nilai itu diracik secara apik dalam prospektif pembangunan dalam pijakan filsafat sosial.

Budaya muakhi dalam konteks pembangunan masyarakat Lampung, khususnya Pepadun, diyakini penulisnya memiliki relevansi dalam membangun kesadaran pelaku yang berbasis pada nilai-nilai lokalitas. Konkretnya, memahami makna muakhi dalam teropong budaya yang diaktualisasikan dalam dimensi moral, sosial, budaya, ekonomi, dan politik diyakini memberi kontribusi dalam pemberdayaan masyarakat lokal dan pembangunan daerah.

Relevansi muakhi di era otonomi daerah sekarang ini, sepatutnya diinternalisasikan sehingga seluruh dimensi pembangunan tidak tercerabut dari akar budaya dan kearifan-kearifan kultural Lampung. Karena itu, muakhi tidak semata ditafsirkan sebagai budaya belaka, tetapi ditempatkannya sebagai etika sosial.

Kemahiran Fauzie Nurdin sebagai tokoh dan budayawan Lampung memberinya talenta akademis dalam menyelami filosofi masyarakat Lampung. Yakni, budaya Lampung berlandaskan pada filsafat hidup piil pesenggiri, menjadikan masyarakat Lampung dapat memahami budayanya sekaligus mengartikulasikan muakhi sebagai etika sosial, berimplikasi terhadap persaudaraan dalam lingkungan keluarga, kerabat, kehidupan kemanusiaan dan pembangunan masyarakat.

Sebagai seorang akademisi tulen, Fauzie Nurdin yang dalam waktu dekat mencapai puncak karier akademiknya sebagai guru besar (profesor) di IAIN Raden Intan secara filosofis menyingkap muakhi sebagai sikap dan pandangan hidup masyarakat Lampung berdasar pada kajian ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Sehingga "deru napas" kearifan budaya muakhi menyeruak sebagai perekat ukhuwah, bahkan perekat persatuan bangsa.

Bagaimana muakhi sebagai nilai persaudaraan yang mencerminkan kearifan lokal dalam konteks kasadaan kolektif, penulis buku ini secara spesifik mengulasnya dalam bagian tersendiri di bab kelima. Dalam hal ini, muakhi dimaknai dalam budaya lokal dan muakhi sebagai pembangun kesadaran.

Untuk menyemai kekhasan khazanah Lampung ini, maka akademisi yang juga bergiat dalam ranah kebudayaan Lampung ini, kemudian menempatkan muakhi sebagai konsep hidup masyarakat Lampung dalam optik filsafat sosial.

Salah satu kekuatan buku ini ada pada keberhasilannya mempertemukan secara integratif relasi antara tradisi Islam dan nilai budaya muakhi dalam masyarakat lokal Lampung. Artikulkasi dari akulturasi dan asimilasi itu terkuak dalam mengamati dialektika Islam dan tradisi lokal Lampung yang "menyatu" atau "terintegrasi" seperti tercermin dalam pengamalan ibadah dalam masyarakat lokal. Kajian ini lebih serius tampak pada bagian keenam buku ini. Aktualisasi muakhi dalam pembangunan daerah diuraikan pada bagain ketujuh.

Kontribusi muakhi terhadap pembangunan daerah makin nyata dengan terinternalisasinya nilai-nilai ini sebagai bagian kesadaran kolektif masyarakat di Lampung, yakni senantiasa mengedepankan nilai-nilai persaudaraan dan solidaritas sosial. Hal ini dapat tercapai melalui pemberdayaan adat sebagai realisasi kesadaran kultural dalam merawat tradisi leluhurnya. (bhc/rat)



 
   Berita Terkait > Lampung
 
  Komisi II: Perbaikan Jalan Diambil Alih Pusat Jadi 'Warning' Bagi Pemprov Lampung
  LBH Awalindo Serahkan Data Dugaan Korupsi Lampung Utara Ke KPK
  Kondisi Way Kambas Sangat Menyedihkan
  Tingkatkan Prestasi Penegakan Hukum di Lampung
  Dalil Pemohon Tidak Terbukti, MK Tolak Permohonan PHPU Lampung
 
ads1

  Berita Utama
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

 

ads2

  Berita Terkini
 
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2