JAKARTA, Berita HUKUM - Pelaksanaan Pilpres 2014 dinilai sebagai ajang sistem demokrasi kriminal. Sebab, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pilpres dianggap tidak profesional.
Penilaian itu disampaikan pakar politik dari Universitas UIN Jakarta, Pangi Syarwi Chaniago, kepada INILAHCOM, Jakarta, Kamis (24/7/2014).
Menurutnya, misi KPU hanya sampai bagaimana pilpres berjalan damai alias enggak ricuh. Namun, ketika ada pelanggaran KPU lepas tangan dan menyerahkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait rekomendasi Bawaslu untuk melakukan pemungutan suara ulang.
"Ini nampaknya sudah mengarah pada demokrasi kriminal, ada kecurangan namun seolah-olah di biarkan oleh KPU dengan memaksakan hasil rekapitulasi sehingga seolah olah pemilu berjalan sukses," kata Ipang, panggilan akrabnya.
KPU, kata Ipang, hanya punya target Pilpres berjalan lancar tanpa melihat adanya beberapa kecurangan yang terjadi di beberapa tempat pemungutan suara.
"Banyak terjadi kecurangan terstruktur dan sistematis, KPU sebagai penyelenggara pemilu membiarkan kasus kecurangan," katanya.
"Seharusnya ada sanksi yang tegas terhadap semua kasus pelanggaran pada pilpres, namun itu yang nggak ada dari KPU, nyali ketegasan KPU nggak ada energi untuk itu," tegasnya.
Sementara, Marzuki Alie ketua DPR RI juga menyatakan apresiasi atas langkah Prabowo yang mengedepankan proses hukum yang berlaku terkait dugaan kecurangan yang dikemukakan. "Langkah Prabowo-Hatta ini adalah langkah konstitusional jika mau membawa persoalan ke MK," ujar Marzuki.
Langkah Prabowo itu, menurut dia, juga sekaligus mematahkan isu yang tidak benar mengenai pengerahan massa.
"Prabowo terbukti tidak memprovokasi. Ini luar biasa padahal tadinya banyak pihak yang ketakutan akan terjadi kerusuhan kalau Prabowo kalah, tapi tidak demikian. Justru Prabowo meminta masyarakat tenang, dan Ini perlu diapresiasi," katanya.(rok/inilah/ROL/bhc/sya) |