JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Dua pimpinanan DPR Priyo Budi Santoso dan Pramono Anung tengah menelusuri temuan 21 transaksi mencurigakan atas seorang anggota Banggar. Langkah ini dilakukan, menyusul surat bersifat rahasia yang dikirimkan PPATK kepada pimpinan DPR. Dalam surat yang ditanda tangani Ketua PPATK Yunus Husein itu, menyatakan bahwa ada seorang anggota Banggar DPR yang memiliki 21 transaksi mencurigakan.
Penelusuran tersebut dibenarkan Priyo Budi Santoso dan Pramono Anung yang hadir dalam diskusi di gedung DPR, Jumat (16/9). Surat dari PPATK tersebut dibahas dalam rapat pimpinan DPR Kamis (15/9) kemarin. Namun, mereka enggan berkomentar lebih lanjut tentang identitas anggota Banggar yang dimaksud PPATK tersebut. "Kami sudah tahu (ke mana saja aliran dana dari transaksi itu), tapi tidak etis disampaikan. Tunggu saja keputusan dari PPATK," tandas mereka.
Priyo mengatakan untuk langkah selanjutnya DPR akan mengadakan rapat kembali dan melakukan langkah-langkah koordinasi dengan pihak-pihak yang dirasa perlu untuk ditindaklanjuti. DPR juga mengucapkan terima kasih atas partisipasi PPATK dalam mengungkap masalah tersebut. "Sudah tentu kami lakukan langkah-langkah koordinasi dengan pihak-pihak itu semua yang dipandang perlu. Tapi, dengan tata cara yang tidak perlu diungkap ke publik. Kami apresiasikan kepada PPATK," ujarnya.
Dalam kesmepatan terpisah, Ketua KPK Busyro Muqoddas menyatakan, pihaknya merasa perlu merapatkan kembali permintaan DPR untuk ikut mengawasi kinerja Banggar DPR. Pembicaraan juga akan dilakukan bersama BPK. "Kebijakan transparan dan bagus, tapi kami perlu rapatkan dulu," ujar Busyro.
Sebelumnya, pimpinan DPR secara resmi mengundang BPK dan KPK untuk ikut mengawasi kinerja Banggar DPR. Pengawasan itu dilakukan oleh kedua lembaga baik dalam rapat terbuka maupun tertutup. Namun, Wakil Ketua KPK Bidang pencegahan M Jasin menyatakan, pengawasan secara langsung oleh lembaga antikorupsi itu tidak akan menuntaskan masalah. "Strategi KPK tidak menongkrongi seperti itu. Kalau ada oknum yang mau jahat, transaksinya pasti tidak di sana,” jelas dia.
Menurut Jasin, pada 2008, KPK sebenarnya pernah mengusulkan agar DPR tidak lagi diberi kewenangan untuk membahas anggaran hingga satuan tiga atau terperinci sekali. Hal ini penting mencegah terjadinya praktik korupsi atau percaloan mafia anggaran. "Hendaknya kajian ini dipertimbangkan untuk diikuti," tandasnya.(mic/rob/spr)
|