JAKARTA, Berita HUKUM - Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti menilai bahwa munculnya pandangan kelompok tekstualis-radikal yang anti demokrasi salah satunya disebabkan oleh politisi yang gagal mewujudkan good governance, terutama menyangkut kesejahteraan rakyat.
Abdul Mu'ti menjelaskan bahwa realitas itu kemudian digunakan oleh kelompok radikal yang menggunakan agama sebagai legitimasi keburukan demokrasi.
Padahal, di banyak negara maju dengan politisi yang mengandalkan kemampuan (meritorkasi) demokrasi berhasil mewujudkan kesejahteraan masyarakat, termasuk perlindungan kepercayaan dan agama.
"Oleh karena itu maka berbagai persoalan, berbagai pihak yang menyoal demokrasi itu kan mengaitkannya dengan kesejahteraan. (kata mereka) Ternyata dengan memilih demokrasi ini kita tidak semakin sejahtera," singgung Mu'ti dalam Seminar dan Dialog 50 Tahun CSIS Indonesia, Senin (26/7).
Sebagai solusi, dirinya berharap para politisi memahami kembali tujuan demokrasi dengan menghidupkan nilai paling mendasar seperti kesetaraan manusia dan akomodasi atas setiap keragaman yang ada.
"Saya ingin menunjuk pada diskursus politiknya. Saya kira memang ada nilai demokrasi yang perlu kita hidupkan lagi paling tidak nilai emansipasi kemanusiaan dan ini menurut saya adalah nilai yang kita perlu hidupkan bersama," imbuh Mu'ti.
"Kemudian meritrokrasi adalah pilihan bersama dan pluralisme sebagai konsekuensi dari demokrasi ini nilai-nilainya perlu kita hidupkan lagi," pungkasnya.(muhammadiyah/bh/sya) |