JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Jatuhnya bursa saham Asia ikut menjadi perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan, ia mengimbau pelaku pasar (pasar saham dan pasar modal) untuk tidak panik dengan situasi perekonomian global yang terus memburuk.
"Tidak perlu ada kepanikan dan kecemasan yang berlebihan. Mudah-mudahan kalau sistem berjalan dan terus mengelola persoalan ini dengan baik, pasti pelaku pasar akan memiliki inisiatif untuk berbuat yang lebih baik lagi," kata SBY dalam Rapat Kabinet Terbatas (Ratas) bidang perekonomian di kantor Presiden Jakarta, Jumat (23/9).
SBY juga menilai, krisis ekonomi global yang terjadi tiga tahun lalu, telah memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia. Saat itu, pemerintah dibantu pengusaha dengan cepat dan cekatan melakukan langkah-langkah yang sinergis, terkoordinasi dan terus menerus, sehingga Indonesia bisa mengantisipasi krisis. "Hasilnya telah diketahui semua dan telah menjadi bagian dari sejarah," imbuhnya.
Dalam pernyatannya itu, Presiden merasa yakin bisa melakukan hal yang sama seperti tiga tahun dan dapat menanggulangi datangnya ancaman krisis. "Kami tidak akan terlambat dan bisa respon tepat waktu dan mudah-mudahan kami bisa meminimalkan dampak dari perekonomian global itu," ujarnya.
Kondisi saat ini, diakui SBY, memang berbeda dibanding tiga tahun lalu. Pada saat itu dapat dikatakan bahwa situasi krisis di AS dan Eropa akibat situasi privat sebagai penyebabnya, karena perusahaan dan bank tertentu. "Dan saat ini yang bermasalah adalah negara, beberapa negara di Eropa, termasuk di AS sendiri ekonomi juga ada implikasi politiknya," kata dia.
Kepala negara pun mengimbau Indonesia harus bersiap diri dengan situasi ini. Pasalnya, boleh jadi kedalaman dan keluasan dari krisis perekonomian global kali ini bisa lebih besar ketimbang tiga tahun lalu. “Ini tetap menjadi perhatian bagi Indonesia,” tandasnya.
Takkan Rubah Asumsi
Sementara itu, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, Pemerintah Indonesia tak lagi perlu menuruti sepenuhnya atas masukan International Monetary Foundation (IMF). Meski IMF mengoreksi asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 6,5 persen menjadi 6,3 persen. Pemerintah pun takkan mengubah asumsi itu. “Memang IMF mengoreksi pertumbuhan ekonomi RI menjadi 6,3 dari 6,5. Tapi kami tidak perlu (cemas), (namun) kami tetap perlu waspada," jelasnya.
Atas kondisi sekarang ini, ungkap Hatta, pemerintah akan menjaga purchasing power atau daya beli masyarakat. Pasalnya, sebanyak 50-an persen dari Gross Domestic Product (Produk Domestik Bruto) berasal dari sektor konsumsi.
"Itu harus dijaga, agar inflasi dapat dikendalikan dengan suplai harus cukup, perdagangan antarpulau tidak boleh disparitas yang tinggi, tata niaga harus diperbaiki. Ada kabar yang menggembirakan bahwa pada tahun 90-an rasio ekspor terhadap PDB masih 30-an persen, sekarang rasionya terus menurun sekitar 26 persenan," jelas Ketua Umum PAN ini.
Hatta pun menjelaskan, dengan kondisi itu, setidaknya menunjukkan ketergantungan ekonomi bangsa kepada kondisi global (lembaga utang) kian menciut. Pasar domestik Indonesia menguat karena volume ekspor Indonesia besar.
"Tidak bisa dibohongi. Kekuatan pasar domestik membesar. Untuk itu, pasar domestik ini jangan sampai dimasukkan barang-barang impor saja. Harus ada kreativitas untuk meningkatkan mesin-mesin produksi industri untuk memenuhi pasar domestik Indonesia," jelas dia.(tnc/wmr/ind)
|