JAKARTA, Berita HUKUM - Diskusi singkat terbatas, dilanjutkan acara penandatanganan Petisi Pilpres Netral, Jujur, dan Adil yang dihadiri sejumlah purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) - Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) serta tokoh masyarakat digelar oleh Forum Peduli Netralitas dan Profesionalitas TNI, Polri, dan ASN di kediaman Komjen Pol.(Purn) Nugroho Jayusman beralamat dibilangan Kemang Jakarta Selatan pada Senin (28/1).
Tampak hadir pantuan pewarta BeritaHUKUM.com dilokasi acara; Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso, Laksamana TNI (Purn) Tedjo Edhi Purdijatno, Marsekal TNI (Purn) Imam Sufaat, selanjutnya Komjen Pol (Purn) Sofjan Jacoeb bersama tuan rumah Komjen Pol (Purn) Nugroho Djayusman yang didampingi sejumlah puluhan purnawirawan TNI dan Polri, serta politisi senior MS Kaban, Ahmad Yani, Hariman Siregar, Mantan MenkoMaritim Rizal Ramli, dan Menkeu era Soeharto Fuad Bawazier, Ustadz Sambo, Mahendratta, Yudi Syamhudi Suyuti beserta istrinya Nelly Juliana Siringgo dan puluhan aktivis lainnya.
Membuka sesi acara, Komjen Pol (Purn) M Sofjan Jacoeb menyampaikan, puji syukur serta apresiasi atas animo berkumpulnya sejumlah puluhan rekan purnawirawan, aktivis, relawan pendukung jelang Pilpres pada April 2019 mendatang. Dirinya merasa salut, meski dalam waktu relatif singkat, namun kesemuanya menyempatkan hadir.
"Ada Petisi tentunya ada sesuatu yang tidak beres ! rezim ini sudah dirasa tidak benar. Ada sesuatu tidak benar. Segala cara ditempuh, baik menggunakan Menteri, Polri, BIN...semuanya digunakan. Lihat saja kasus yang terjadi di Sumut, bahkan ada lagi di Jateng," timpalnya seraya memberikan permisalan.
Sementara, disatu sisi kemukanya, "tengok saja sebelumnya pada 212 di Monas kemarin itu muncul jutaan manusia, mestinya Pemerintah berpikir ada apa ini? Ini semua muncul karena ketidakadilan!," tegas Sofjan, yang mantan Kapolda Metro Jaya ini.
Sofjan katakan bahwa dirinya ikhlas sampai merogoh kocek untuk berjuang, sebagai relawan. Maka itu, lanjutnya menghimbau para relawan yang hadir agar kedepan merapatkan barisan, soalnya waktu sudah dekat.
"Kata kuncinya ada di TPS, kita berjuang," Imbuhnya mengingatkan. Namun, apabila lengah di TPS lewat sudah, ungkapnya.
Soalnya, dari hari kehari muncul sudah tanda-tanda kecurangan, lontarnya penuh nada curiga. "Tolong sampaikan pada rekan-rekan, jaga TPS. disitu tempat kecurangan, tempat penggelembungan. Jangan tinggalkan TPS, begitu selesai foto laporkan ke pusat," jelasnya.
"Boleh deh kemarin curang, kalau sekarang kaga bisa. Para purnawirawan punya 'semangat'. Tidak gunakan mesin partai, kita bergerak soalnya inginkan ada perubahan," ujar Sofjan.
"Dengan sepuluh jari ditambah kepala (akal pikiran). Selamat berjuang !" kata Sofjan, sembari menyemangati.
Sedangkan, Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso yang menjabat ketua tim kampanye Prabowo - Sandiaga mengatakan bahwa, Jika aparat negara tidak netral, sama saja Indonesia kembali dalam peradaban yang primitif. "Kita sudah 73 tahun merdeka jangan mempertontonkan peradaban primitif."
"Kita semua mesti berdoa, demikian anjuran ketua BPN (Djoko Santoso: Red). Doa itu luar biasa, lakukan setiap malam jumat yassinan, mohon doa pada Allah, Ridho-Nya agar kemenangan Prabowo Sandi. InsyaAllah menang," tandasnya singkat.
Selanjutnya, Nugroho Djayusman sebagai Jenderal bintang tiga Purnawirawan Polri ini mengatakan dan mengingatkan, sesuai dengan amanah konstitusi, yaitu pasal 2 huruf d Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menegaskan jatidiri TNI yang melarang berpolitik praktis dan menghormati prinsip demokrasi.
Begitupun, aparat kepolisian dalam Pasal 28 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri menyatakan secara tegas bahwa Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis," jelas Nugroho.
Disamping itu, "Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai Lembaga negara yang bertugas mendeteksi ancaman terhadap negara, dalam Pasal 2 huruf t menyatakan secara tegas, BIN tunduk pada asas netralitas dalam penyelenggaraannya. Begitu juga dengan Aparatur Sipil Negara (ASN) pada Pasal 2 huruf f Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 nggaraan kebijakan dan manaiemen ASN tunduk asas netralitas."
"Proses demokrasi rakyat adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk merencanakan, mempersiapkan dan melaksanakannya. Dalam mengawasi penyelenggaraan proses demokrasi ini, maka Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU) diberi tugas untuk semua tahapan dan pelaksanaannya," ungkap Nugroho Djayusman.
Namun, kemuka Nugroho Djayusman bahwa, dalam proses demokrasi menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan, suara rakyat untuk memilih Presiden dinginkan bakal mengalami cacat dan diskriminasi, bila ketidaknetralan oknum Aparatur Sipil Negara terjadi.
"TNI, POLRI, dan BIN yang banyak menggunakan fasilitas negara dan menggunakan kekuasaan, serta kewenangan yang melekat dalam jabatannya. Kondisi ini bisa menciderai prinsip daulat rakyat sebagai kekuasaan tertinggi dalam demokrasi untuk memilih Presiden sebagai representasi kedaulatan rakyat itu sendiri," terang Nugroho Djayusman, mewakili Forum Peduli Netralitas dan Profesionalitas TNI, Polri dan Aparatur Sipil Negara itu.
Nugroho Djayusman juga mengungkapkan, sebagai komunitas yang peduli terhadap suara rakyat dalam proses demokrasi, maka dibuatlah PETISI kepada Pemerintah Indonesia agar, mendesak netralitas TNI, Polri, BIN, dan semua Aparatur Sipil Negara dalam Pemilihan Presiden 2019 dan mendesak seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS) dijaga para prajurit TNI-Polri yang ikut berperan sebagai pengawal pesta demokrasi tahun 2019.
"Kepada semua pihak termasuk masyarakat luas agar melaporkan kepada BAWASLU dan pihak terkait lainnya bila mengetahui ketidaknetralan atau keberpihakan jajaran TNI, POLRI, BIN dan aparatur negara lainnya demi menjamin jujur dan adilinya Pemilu," pungkas Nugroho Djayusman.(bh/mnd) |