JAKARTA, Berita HUKUM - Anggota Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Puteri Anetta Komarudin menegaskan peran DPR RI dalam mengawasi kinerja pengelolaan utang negara melalui fungsi-fungsi parlemen. Hal ini terkait kenaikan rasio utang Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 10 persen selama pandemi guna membiayai penanganan pandemi dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
"Dua tahun sejak pandemi, peran parlemen dalam penganggaran, pengawasan, dan pembentukan anggaran negara semakin tertantang. Karena kita juga perlu memastikan konsekuensi kebijakan fiskal yang ekspansif ini tidak menghambat pertumbuhan antar generasi. Termasuk, untuk pastikan meski terjadi peningkatan utang negara, manfaatnya dapat terlihat dan dirasakan langsung bagi masyarakat di seluruh Indonesia," ungkap Puteri pada webinar yang diselenggarakan National Democratic Institute (NDI) dan Westminster Foundation for Democracy (WFD), pada Selasa (26/4).
Dalam webinar bertema 'The Role of Parliaments in Public Debt Management and Transparency' ini, Puteri juga menjelaskan tantangan yang dihadapi DPR RI dalam mengawasi pengelolaan keuangan negara. Khususnya, pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 yang mengatur kembalinya defisit fiskal APBN di level 3 persen terhadap PDB di tahun 2023.
"Selain itu, menjadi tantangan juga untuk awasi pertumbuhan rasio utang kita yang semakin melonjak hingga 41 persen per PDB di tahun 2021. Walaupun dapat dikatakan masih sesuai dengan ketentuan batas 60 persen, namun kita tetap perlu waspada dan pastikan kemampuan kita untuk membayar utang masih terkendali. Apalagi, mengingat kebutuhan keuangan negara masih sangat tinggi, khususnya dalam pembiayaan PEN dan pembangunan infrastruktur," lanjut Puteri dalam rilisnya kepada Parlementaria, Rabu (27/4).
Lebih lanjut, Puteri juga menjelaskan bentuk-bentuk pengawasan DPR RI dalam siklus penganggaran APBN. Mulai dari tahap penyusunan, persetujuan, pelaksanaan, hingga pengawasan. "Pengawasan dalam tahap penyusunan APBN adalah salah satu yang utama, karena parlemen dapat menggunakan kewenangan budget-making dengan menyesuaikan rancangan anggaran yang diajukan pemerintah selama tidak menaikan defisit fiskal. Selain itu, kita juga berupaya agar pemerintah dapat meminimalisir penarikan pinjaman baru dengan memanfaatkan alternatif pembiayaan non-utang, seperti Saldo Anggaran Lebih (SAL) maupun penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar domestik," jelas Anggota Komisi XI DPR RI itu.
Di akhir, Puteri juga menjawab mengenai transparansi dan ketersediaan data dan informasi utang negara yang dikelola pemerintah. "Dalam pembahasan RAPBN kami menerima informasi dan data terkait keuangan negara yang dibutuhkan untuk berdiskusi dengan pemerintah. Bahkan, jika memerlukan data tambahan kami dapat sampaikan kepada pemerintah dan dapat segera terpenuhi. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tentunya DPR RI, Komisi XI khususnya, telah bangun kerjasama yang baik dengan Kementerian Keuangan dan otoritas terkait," tegas politisi Partai Golkar itu.(we/sf/DPR/bh/sya) |