JAKARTA, Berita HUKUM - Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Pemilu serentak tahun 2019 dianggap menimbulkan kekisruhan politik. Di samping itu, pemerintah dianggap perlu mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) untuk menghapuskan ambang batas bagi partai politik untuk mengajukan calon presiden sehingga keabsahan hasil pemilihan presiden mendatang tidak digugat.
Demikian mengemuka dari disksui bertema "Putusan MK dan Keabsahan Pemilu 2014" di Gedung DPR, Kamis, (6/2). Selain Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) Ahmad Yani, hadir pula pengamat Hukum Tata Negara Margarito Kamis dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon sebagai pembicara.
Ahmad Yani mengatakan, dalam banyak hal MK sudah melampaui kewenangan yang diberikan. “Sudah terjadi kekacauan setelah keluar keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai pemilihan umum serentak itu,” ujarnya.
Politisi PPP ini mengakui, sudah terjadi kekeliruan sejak awal UU mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden ini. “Partai-partai politik termasuk PPP dan partainya Pak Yusril, PBB, membiarkan pelanggaran konstitusional,”ujarnya.
Ahmad Yani mengingatkan, calon presiden dan calon wakil presiden pintu masuknya hanya satu, tidak ada pintu lain, yaitu melalui partai politik. Parpol yang sudah terdaftar di Komisi Pemilihan Umum(KPU) layak mengajukan capres dan cawapres. “Tidak boleh dibatasi,”tegasnya.
Dikatakan, presidential treshold atau ambang batas syarat calon presiden itu merupakan pelanggaran yang serius. Dia meragukan apakah nanti tahun 2019 akan bisa dilaksanakan pemilu serentak 2019 seperti keputusan MK tersebut. Ia juga mempertanyakan lamanya MK memutuskan uji materi UU Pemilu Presiden oleh Effendi Gazali. Karena itu yani mendesak, MK harus cepat memutuskan gugatan materi dari Yusril Izha Mahendra, tidak perlu berlama-lama seperti memutuskan gugatan sebelumnya. “Kekisruhan pelaksanaan konstitusi kita sekarang ini juga andilnya MK,”katanya.
Menurut dia, MK sudah mulai keluar dari mandat yang diberikan, dengan memonopoli kebenaran yang bersifat final dan mengikat. Sementara itu tak ada yang mengontrol lembaga tersebut. Selain itu MK itu berwenang menguji pasal-pasal UU yang bertentangan dengan konstitusi atau tidak. "MK bukannya membuat norma hukum baru. Apalagi tidak suka dengan DPR, sehingga putusannya tidak obyektif,” tegasnya.
Dikatakan, karena konstitusi mengatur pemilu lima tahun sekali, maka mau serentak atau tidak bukan masalah. Tapi yang jadi masalah adalah putusan MK terbalik. Karena itu, putusan MK soal pemilu serentak sia-sia, dan malah akan menimbulkan kekisruhan baru.
Sementara itu, Margarito Kamis menilai MK terkait penyelenggaraan pemilu serentak yang baru bisa dilaksanakan pada 2019 berpotensi menimbulkan gugatan. Dengan pemilu serentak, presidential threshold juga menjadi tidak berlaku. Namun, putusan itu dikeluarkan Januari lalu dan baru bisa dilaksanakan pada 2019 sehingga landasan konstitusional pelaksanaan pemilu 2014 lemah. “Sebenarnya penyelesaiannya tidaklah sulit presiden mengeluarkan saja Perppu yang isinya menghapuskan preidential threshold karena persoalannya bukan di pemilu serentak atau tidak tapi di presidential threshold,” ujarnya.
Di tempat yang sama, Fadli Zon mengatakan solusi untuk mencari jalan keluar dari putusan MK yang memperumit proses pemilu 2014 saat ini akan tergantung pada partai besar, oligarki politik yang ada di DPR RI. Di mana keruwetan dan kesemrawutan tata negara ini sebagai konsekuensi memutilasi naskah aseli konstitusi. "Kerumitan konstitusi ditambah putusan MK sekarang ini sebagai konsekuensi memutilasi konstitusi yang merubah naskah aseli UUD 1945, sehingga keputusannya justru membingungkan masyarakat. Karena itu, perlu terobosan politik untuk merevisi kewenangan MK,” kata Fadli Zon.
Oleh sebab itu Fadli Zon berharap tidak membiarkan kesewenang-wenangan MK tersebut karena akan terjadi penyalahgunaan wewenang atau a buse of power, dan apalagi sekarang ini MK sudah melenceng dari mandat yang diberikan. “Untuk itu, Gerindra mengusulkan agar hakim MK itu bukan dari partai, melainkan negarawan yang teruji integritas dan putusan-putusan hukumnya,” katanya.
Sebelumnya, mantan Menkumham Yusril Ihza Mahendra mengajukan uji materi atas UU 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden. Dalam gugatannya dia meminta MK menafsirkan secara langsung maksud Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 22E UUD 1945. Gugatan itu dimenangkan Yusril di MK, namun pelaksanaannya pada 2019. Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.(nt/sc/dpr/bhc/rby) |