JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Rancangan Undang-Undang tentnag Organisasi Masyarakat *RUU Ormas) yang direncanakan olh DPR dan Pemerintah sebagai penggnati UU No.8 Tahun 1985, tentang Organisasi Kemasyarakatan (selanjutnya disebut UU 8/1985) berpotensi membatasi dan merenggut ruang aktualisasi kemerdekaan berserikat.
Maraknya berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah ormas higga pembinaan yang terkait transparansi dan akuntabilitas organisasi, menjadi alasan untuk segera melahirkan UU Ormas yang baru. Ibarat ingin menangkap tikus, tetapi lumbungnya dibumihanguskan.
Demikian, point yang mengemuka dalam diskusi dan pres konfrensi, yang digagas oleh Koalisi Independen untuk Demokrasi Penyiaran (KIPD) dan Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB), di Jakarta beberapa hari lalu.
Isinya penuh dengan semangat Antidemokrasi dan bersifat sangat otoriter. Semua organisasi kemasyarakatan wajib mendaftarkan diri dan memperoleh surat keterangan terdaftar (SKT) yang dapat diperpanjang, dibekukan, ataupun dicabut. SKT ini diberlakukan seolah-olah izin beroperasi dapat dapat dibekukan dan kemudian dicabut apabila, antara lain menyebabkan ideologi marxisme, ateisme, kapitalisme, sosialisme, serta ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Peraturan ini tidak hanya dapat menghambat tumbuh dan berkembangnya organisasi kemasyarakatan secara umum, tetapi juga sangat merugikan dan berbahaya buat organisasi media, pers, wartawan, dan jurnalis, karena diklasifikasikan juga sebagai ormas yang tidak boleh menyebarkan pikiran yang diduga atau bahkan tidak sesuai dan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian, peraturan ini menghambat kemerdekaan berserikat, sekaligus menghambat kemerdekaan berbicara, berekspresi, dan pers.
Lebih lanjut, perlu dipahami bahwa kerangka hukum yang ada untuk organisasi kemasyarakatan di Indonesia terbagi menjadi dua jenis. Untuk organisasi tanpa anggota, hukum Indonesia menyediakan jenis badan hukum Yayasan yang diatur melalui UU Yayasan (UU No.16 Tahun 2001), sebagaimana diubah UU oleh UU No.28 tahun 2004). Sementara untuk organisasi yang berdasarkan keanggotaan, hukum Indonesia menyediakan jenis badan hukum perkumpulan yang masih diatur dalam peraturan stb 1870-64 tentang perkumpulan-perkumpulan berbadan hukum.
Rencana menempatkan UU ormas sebagai UU payung hanya akan menambah panjang birokrasi, perjanjian, dan mekanisme yang rumit yang pada ujungnya akan mencederai ruang gerak kemerdekaan berorganisasi di Indonesia. UUD 1945 telah memayungi UU dan memberikan jaminan kebebasan berserikat dan berkumpul.
Dengan mempertimbangkan ancaman terhadap kemerdekaan berserikat dan berekspresi serta analisis konstintusi pengaturan ormas sebagaimana diuraikan diatas, maka Koalisi Kebebasan Berserikat bersama Koalisi Independen untuk Demokrasi Penyiaran (KIPD) mendesak ; UU No.8 tahun 1984 tentang Ormas harus dicabut.
DPR dan Pemerintah harus menghentikan dan tidak perlu lagi melakukan pembahasan RUU Ormas sebagai pengganti UU 8 tahun 1985. Dan pemerintah harus segera mencabut Permendagri 33 tahun 2012 tentag Pedoman Pendaftaran Organisasi Kemasyarakatan di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah dan peraturan lain turunan/pelaksanaan UU 8/1985.
Disamping itu KKB dan KIPD juga merekomendasikan, penolakan terhadap RUU Ormas dan Permendagri 33/2012 bukan berarti penolakan ormas sipil untuk diatur. Jika negara hendak mengatur ormas sipil, aturlah dalam kerangka yang benar.
Sebagai pengetahuan, mayoritas negara-negara dengan sistem hukum civil law mengenal dua bentuk badan hukum yaitu Yayasan. LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), Ornop (organisasi masyarakat sipil) dan sejenisnya adalah suatu istilah praktik. Termilogi hukumnya akan selalu kembali kepada badan hukum yayasan atau perkumpulan.
Berkenan dengan kebutuhan peraturan perundang-undangan yang demokratis bagi organisasi masyarakat di Indonesia, KKB bersama KIPD merekomendasikan, DPR dan Pemerintah segera melakukan perbaikan UU tentang Yayasan. DPR dan Pemerintah segera menyusun RUU tentang perkumpulan. (bhc/rat)
|