Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Lingkungan    
WALHI
Rakyat Harus Menggugat Korporasi Perusak Lingkungan
Tuesday 30 Jul 2013 20:24:32
 

Logo Walhi.(Foto: Ist)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - WALHI pada hari Kamis, 18 Juli 2013 lalu telah melaksanakan kegiatan diskusi tematik yang bertemakan “Investasi Berasap dalam Sudut Pandang Penegakan Hukum dan Diplomasi Politik Interanasional”.

Diskusi tematik ini merupakan program rutin bulanan WALHI sebagai bentuk transfer pengetahuan yang dimiliki oleh WALHI dan jaringannya untuk dikonsumsi secara bersama-sama dengan elemen gerakan sosial lainnya, seperti organisasi non pemerintah, organisasi masyarakat, organisasi mahasiswa dan media.

Tema yang menjadi topik pembicaraan pada diskusi bulanan kali ini didasarakan pada realitas kebakaran hutan di Riau yang terjadi sebulan terakhir ini menggemparkan Indonesia dan juga negara tetangga, Malaysia dan Singapura.

Persoalan “ekspor asap” yang menyapa negara tetangga itu ternyata menjadi satu permasalahan bilateral dan menyajikan adegan permohonan maaf Presiden SBY kepada kedua negara tersebut, sementara rakyat didalam negeri terus dibiarkan bergelut dengan krisis asap tanpa pernah SBY meminta maaf kepada rakyatnya sendiri.

WALHI memiliki concern atas krisis yang terjadi tersebut, termasuk bagaimana terus mengingatkan kewajiban negara yang seharusnya berada dalam garda terdepan melindungi warga negaranya. WALHI sendiri juga mengambil langkah men-Somasi SBY, Kapolri, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Kehutanan, Mentri Pertanian, Gubernur Riau, Gubernur Sumsel dan Gubernur Jambi.

Hal ini ditempuh mengingat pengabaian dari negara pembakaran hutan dan juga terhadap upaya penanganan masyarakat korban, termasuk pembiaran terhadap korporasi yang selama ini ditenggarai sebagai bagian dari aktor pembakaran hutan.

Diskusi tematik ini menghadirkan narasumber Andri G Wibisana, SH, LLM, Ph.D (Dosen Hukum Lingkungan UI) dan Muhnur Satyahaprabu (Manager Pembelaan Hukum WALHI) serta narasumbernya Untung Widyanto (Jurnalis TEMPO). Diskusi tematik ini cukup menarik proses diskusi tanya jawabnya, baik dari kalangan jurnalis sendiri maupun dari teman-teman gerakan sosial lainnya. Selain tema ini sempat menjadi kisruh di Indonesia sendiri dan kontroversi dari presiden juga menjadi preseden bahwa lemahnya penegakan hukum dalam kasus lingkungan di Indonesia.

Andri G Wibisana sendiri dalam menjawab segudang pertanyaan terkait “investasi berasap” dari peserta mengatakan bahwa kita bukan negara yang maju asuransi sosialnya, maju kesehatannya. Mau tidak mau terkait kompensasi yang harus diberikan kepada masyarakat Riau yang menjadi korban dari asap adalah gugat perusahaannya di pengadilan. Nah, paling sulit adalah membuktikan kerugian kita karena asap.

Terkait harapan hidup berkurang dan asap menjadi pemicu penyakit jantung, maka pembuktiannya sangat sulit ketika kita harus menggugat si penyebab dan menggugat pemerintah.

Strategi di kancah internasional, jika susah secara hukum, pemerintah bukan takut hukumnya, namun terkait uang yang dijanjikan dalam pengelolaan hutanlah yang ditakuti, dimana uang itu tidak akan diberikan jadinya ke pemerintah Indonesia. Kalau memang pemerintah menakuti itu, ya kita takut-takuti saja di bagian itu dan pemerintah akan takut.

Muhnur Satyahaprabu juga menambahkan bahwa sebenarnya lebih mudah membuktikan akibat. Kerusakan dan pencemaran lingkungan itu nyata dan juga itu sudah diatur seperti di UU Lingkungan Hidup. Kenapa tidak menuntut pelaku, karena hal itu tidak menyelesaikan masalah, seharusnya yang dibuat adalah membuat jera.

Dialektika diskusi yang menarik ini juga sempat diselingi pembacaan puisi oleh Ilham Wahyudi (seniman asal Medan) yang sekarang merantau di Jakarta. Pembacaaan puisi karya-karya Saut Sitompul yang penuh kritik sosial ini juga menghantarkan para peserta untuk masuk dalam ranah kritik-otokritik dalam melihat persoalan sekitar.

Selanjutnya, diskusi juga dilanjutkan kembali dengan sejumlah pertanyaan dari kalangan jurnalis yang hadir, dari Serikat Petani Kelapa Sawit serta dari WALHI sendiri. Namun, pertanyaan dari teman-teman peserta diskusi lebih detail lagi terkait perangkat hukum dan strategi hukum apa yang bisa dijalankan dalam menggugat korporasi dan pemerintah yang kerap berkolaborasi dalam melaksanakan kegiatan pembakaran hutan serta sikap pembiaran yang sejak medio 1997 sampai sekarang tetap terjadi.

Andri G Wibisana mengatakan bahwa Lapindo sempat menggunakan hukum perdata, melanggar HAM. Kalau kita memakai HAM, maka akan berat perjuangannya. Kemudian terkait perjanjian, kalaupun kita ratifikasi perjanjian, gak ada masalah sebenarnya. Kita sangat takut tandatangan Haze Agreement.

Pertanyaan bisa tidak secara praktek melakukan reiumberse (negara yang duluan menalangi kerugian akibat bencana ekologis yang terjadis seperti asap ini, kemudian pemerintah menagih uang yang dikeluarkan pemerintah ke sejumlah korporasi sebagai pelaku) ? Belum pernah. Secara praktek bisa dilakukan, karena ada perundangan yang mengaturnya. Realitasnya saat ini memang bahwa pemerintah secara diam-diam mensubsidi pencemar.

Dasarnya, kalau pemerintah tidak kita gugat, maka pemerintah tidak ada dasar menggugat korporasi, yang kurang adalah bagaimana membuat korporasi jera kalau digugat berdasar UU Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kalau tindak pidana dilakukan badan hukum, maka sankasi diberika kepada badan pengurus.

Secara teori keliru, karena seharusnya yang bertanggungjawab bukan hanya pengurusnya, pidananya juga bisa korporasinya. Pengurus bisa pidana penjara, badan hukumnya dipidana dengan sanksi lain.

Perusahaan punya power untuk mencegah tindak pidana (pembakaran), karena dia akan melakukan maka dia menyetujui, apalagi itu menguntungkan perusahaan. Tidak ada sanksi jika membakar, maka perusahaan akan membakar, karena lebih untung.

Bayangkan, korban gak gugat, kalau tidak digugat, maka perusahaan melanggar. Perusahaan melanggar, pemerintah diam saja, maka perusahaan melanggar terus. Terakhir di bagian penutup sesi diskusi, Muhnur menambahkan bahwa negara harus bertanggungjawab dan APBN harus keluar jika memang itu murni bencana.(wlh/bhc/rby)



 
   Berita Terkait > Walhi
 
  Release WALHI Sulawesi Tengah atas Upaya Kasasi di Mahkamah Agung
  Tanpa Mengoreksi Kebijakan Pembangunan, Pemerataan hanya Jargon
  Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI 2015: Menagih Janji, Menuntut Perubahan
  Aktivis Bentangkan Spanduk Raksasa di Kantor Pusat BHP Billiton Meminta Batalkan Tambang Batubara
  'Kebijakan Penanganan Krisis Iklim dan Pengelolaan Hutan Beresiko Memperpanjang Perampasan Tanah'
 
ads1

  Berita Utama
3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

Istana Dukung Kejagung Bersih-bersih di Pertamina: Akan Ada Kekagetan

Megawati Soekarnoputri: Kepala Daerah dari PDI Perjuangan Tunda Dulu Retreat di Magelang

 

ads2

  Berita Terkini
 
3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

10 Ribu Buruh Sritex Kena PHK, Mintarsih Ungkap Mental Masyarakat Terguncang

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2