JAKARTA (BeritaHUKUM.com) - Aksi anarkis berbau SARA terjadi di Sampang, Jawa Timur, Kamis (29/12) pagi. Ratusan orang menghancurkan komplek pesantren serta rumah yang berada di sekitarnya. Pesantren itu dituding sebagai pusat penyebaran ajaran Syiah di Madura sejak lima tahun lalu.
Ratusan petugas kepolisian Polres Sampang yang dibantu puluhan aparat Kodim Sampang terlambat datang untuk mencegah amuk massa itu. Mereka datang di kompleks pesantren asuhan Tajul Muluk, pemimpin aliran Syiah Sampang itu, setelah luluh lantah rata dengan tanah. Massa anakis ini merupakan gabungan dari beberapa desa di Kecamatan Karangpenang, Sampang, Madura.
Menurut Kadiv Humas Polri, Irjen Pol. Saud Usman Nasution, aksi pembarakan ponpes itu, karena dilatarbelakangi masalah keluarga. "Awalnya dari keluarga, yaitu saudara Rois dan Rojuli, mereka ini kakak beradik. Mulanya, mereka kelompok sunni, kemudian si rois masuk ke kelompok lain, karena ada perselisihan dengan abangnya, maka dia masuk syiah," jelasnya.
Selanjutnya, imbuh Saud, sebenarnya permasalahan ini sudah diselesaikan pada Minggu (25/12) lalu, dengan disaksikan Muspida setempat dan kedua kelompok tersebut sepakat untuk saling menjaga. Tapi aksi anarkis dan pembakaran pecah itu pada Kamis (29/12) pagi dan itu murni karena ada kesalahpahaman.
Saud mengakui bahwa pada saat kejadian polisi tidak ada di tempat, jarak antara kediaman kelompok tersebut dengan jalan umum berkisar satu jam perjalanan. Petugas dari Polres Sampang yang akan masuk pun sempat dihadang kelompok Sunni dengan menggunakan senjata tajam dan golok. “Petugas juga sempat kesulitan menuju lokas kejadian, karena dihadang ratusan massa,” tandasnya.
Dari Jombang, tokoh masyarakat Madura yang menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menyatakan perasaan keprihatinannya atas pembakaran rumah, madrasah, dan surau Islam Syiah itu. Ia pun meminta aparat penegak hukum bertindak tegas atas peristiwa ini. "Aparat harus bertindak tegas. Tindakan intoleran ini, tidak boleh dibiarkan begitu saja,” tegasnya.
Mengenai perbedaan keyakinan, jelas Mahfud, hal itu selayaknya diselesaikan secara hukum. Pasalnya, MK sudah menyatakan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1960 tentang Penodaan Agama adalah UU yang benar, sehingga perbedaan berkeyakinan tidak boleh diadili secara sendiri-sendiri. "Jika ada perbedaan keyakinan harus diselesaikan secara hukum, tidak boleh tindakan sendiri-sendiri. Termasuk konflik antara Sunni dan Syiah," katanya.(dbs/bie/sin)
|