JAKARTA, Berita HUKUM - Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia, Mirah Sumirat, SE melalui siaran pers singkatnya pada Selasa (25/4) menyampaikan dan mengajak seluruh pekerja di Indonesia untuk bersama-sama kritis dalam melihat permasalahan ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi yang saat ini semakin parah.
"Apapun sebutan anda, pekerja, buruh, karyawan, pegawai, selama anda masih menerima upah atau gaji, maka sesungguhnya anda adalah buruh. Sebagai sesama golongan buruh, kita harus bergandengan tangan memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan! Mari bersama-sama turun ke jalan dan kepung istana negara, pada tanggal 1 Mei 2017," tegas Mirah Sumirat, Jakarta, (25/4).
Mengapa harus turun ke jalan dan kepung istana?
Mirah menjelaskan, "Jalan adalah simbol dan wadah mempersatukan seluruh elemen pekerja dari berbagai jenis pekerjaan. Sedangkan Istana Negara adalah simbol Pemerintah, dimana Pemerintah seharusnya mampu menjamin terwujudnya kesejahteraan bagi seluruh pekerja," tukas Mirah Sumirat.
Adapun 'May Day' atau Hari Buruh adalah momentum bersejarah pekerja dalam perjuangan menuntut keadilan dan kesejahteraan. Perlu keberpihakan Pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh pekerja di Indonesia, dimana Istana Negara akan menjadi titik sentral jutaan pekerja pada aksi May Day, 1 Mei 2017 yang akan datang.
Jutaan pekerja di seluruh Indonesia juga akan serentak melakukan aksi turun ke jalan dan menjadikan kantor Gubernur sebagai pusat aksi. "Selama 3 tahun pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, ketimpangan ekonomi semakin tinggi. Berbagai regulasi yang dikeluarkan lebih untuk kepentingan kelompok pengusaha (kapitalis)," tegasnya.
Kemudian, lebih lanjut Mirah mengungkapkan bahkan tidak segan-segan regulasi Pemerintah menabrak Undang Undang yang lebih tinggi, seraya menyampaikan beberapa poin yaitu:
1. PP 78/2015 tentang Pengupahan yang bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan No. 13/2003, terutama pasal 4, 88, 89, dan 98 tentang pengupahan. Khususnya tentang formula upah minimum, survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan hak berunding buruh. PP 78/2015 menetapkan penyesuaian upah hanya berdasarkan inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi dan menghilangkan survei KHL. Padahal, pasal 88 UU 13/2003 menyebutkan, "Upah minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota."
2. Kemudahan Tenaga Kerja Asing (TKA) masuk ke Indonesia di saat masih tingginya pengangguran di Indonesia. Melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No.16/2015 sebagai revisi Permenaker 12/2013, Pemerintah menghilangkan kewajiban kemampuan berbahasa Indonesia bagi TKA yang akan bekerja di Indonesia. Ini yang menyebabkan membanjirnya TKA khususnya dari China. Proses alih teknologi dan alih keahlian juga tidak berjalan dengan baik.
3. Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) atau less cash society yang dicanangkan oleh Bank Indonesia sejak tahun 2014, yang berdampak pada meningkatkan jumlah pengangguran di Indonesia. Pekerja di sektor tertentu yang mulai terkena dampak dari kebijakan Pemerintah ini antara lain;
a. Pekerja jalan tol, dengan adanya rencana Pemerintah menerapkan sistem non tunai (Gardu Tol Otomatis/GTO) di gardu tol di seluruh Indonesia, yang berpotensi terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
b. Pekerja perbankan, yang semakin rentan di-PHK karena adanya kebijakan mobile banking dan less cash society.
Mirah Sumirat menyerukan kepada seluruh pekerja di Indonesia untuk sadar, bersatu dan bergerak bersama dalam satu barisan, untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh pekerja Indonesia."Kami tidak anti dialog sosial dengan pihak manapun, termasuk dengan pengusaha maupun Pemerintah," urai Mirah Sumirat yang juga sebagai Wakil Ketua Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional.
Namun ternyata dalam banyak hal, menurutnya justru Pemerintah dan pengusaha yang anti dengan dialog sosial. Beberapa regulasi Pemerintah dikeluarkan tanpa dialog sosial dengan unsur serikat pekerja, bahkan sengaja menabrak UU yang lebih tinggi seperti PP 78/2015 di atas. Pengusaha juga masih sangat banyak yang anti dengan dialog sosial. Indikatornya antara lain, masih banyak pengusaha yang anti dengan keberadaan serikat pekerja, padahal hak berserikat adalah hak dasar bagi pekerja yang dijamin oleh Undang Undang.
Pada umumnya pengusaha takut dengan keberadaan serikat pekerja di perusahaan karena kuatir segala peraturan perusahaan yang bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan menjadi terbongkar, seperti membayar upah di bawah upah minimum, upah lembur yang tidak sesuai dengan UU, praktik outsourcing yang tidak sesuai UU, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang tidak sesuai UU, dan lain sebagainya.
Yang terjadi kemudian pengusaha melakukan pemberangusan terhadap serikat pekerja (union busting). "Keadilan harus diperjuangkan bersama, apalagi menghadapi Pemerintah yang tidak berpihak pada pekerja. Maka gerakan serikat pekerja harus menjadi gerakan Nasional. Buat para pekerja yang belum berserikat, segeralah mendirikan serikat pekerja di perusahaan anda, karena serikat pekerja adalah wadah perjuangan kolektif pekerja yang dilindungi UU," pungkas Mirah Sumirat.?????(bh/mnd) |