Islam Rencana Pembongkaran Masjid di Cina oleh Aparat 'Mengancam Perdamaian' 2018-08-21 13:04:04
Masjid Weizhou adalah sebuah bangunan tinggi dengan kubah dan menara gaya Timur Tengah.
CINA, Berita HUKUM - Cina berusaha keras mempertahankan kendali terkait cara agama dipraktikkan, tetapi sejumlah ancaman baru-baru ini untuk menghancurkan sebuah masjid di sebuah kota yang sebelumnya patuh hukum, kemungkinan akan berakibat negatif, tulis seorang pengamat di Amerika Serikat, David R Stroup.
Di pagi hari yang dingin pada permulaan Februari 2016, sebelum matahari terbit, saya berdiri di halaman sebuah masjid di Weizhou, sebuah kota kecil pedesaan yang sebagian besar penduduknya Muslim di Daerah Otonomi Ningxia Hui, Cina.
Saya dikelilingi sekitar 150 pria, kebanyakan mengenakan kopiah rajutan putih tradisional, sebagian berjenggot panjang halus, yang bergegas memasuki tempat berwudu untuk salat Subuh.
Pengeras suara dari masjid lainnya terdengar menyuarakan azan.
Dengan diiringi panggilan salat yang terdengar di seluruh penjuru kota, para pria berkumpul dan mulai sembahyang, mengawali hari mereka.
Dua tahun kemudian, kota kecil Weizhou terjebak dalam semakin meningkatnya konflik antara pemerintah dan warga Muslimnya, terkait dengan rencana penghancuran Masjid Besar yang baru saja dibangun.
Pemerintah setempat menyatakan alasan rencana pembongkaran masjid karena masjid tidak memiliki izin bangunan, sehingga bisa disebut "gedung ilegal".
Penduduk Weizhou yang sebagian besar Muslim Hui kemudian menduduki masjid untuk menghambat penghancuran. Hak atas fotoDAVID R STROUP.Image captionMasjid bergaya arsitektur Arab.
Konflik menghadapi kebuntuan. Pemerintah sekarang berjanji untuk tidak merobohkan keseluruhan masjid, tetapi tetap menyatakan perlunya perubahan gaya arsitektur Arab gedung itu.
Pemerintah berjanji akan meminta persetujuan masyarakat terhadap perubahan apa pun.
Tetapi tindakan ini berisiko menghancurkan simbol paling kuat keberhasilan Weizhou, dan menentang masyarakat yang sebenarnya dipandang mewakili kemenangan reformasi ekonomi Cina.
Kota dengan penduduk Muslim taat
Penduduk Weizhou terdiri dari 90% lebih suku Hui. Mereka sering kali disebut media sebagai Muslim Cina. Masyarakat Hui dapat menelusuri nenek moyang mereka sampai ke Muslim yang tiba di Cina saat dinasti Tang pada abad ke-8.
Setelah berabad-abad melakukan pernikahan campur dan asimilasi ke masyarakat Cina, kebanyakan orang Hui tidak bisa lagi dibedakan dengan kelompok Han, penduduk mayoritas Cina, kecuali ikatan mereka kepada agama Islam.
Meskipun terdapat sejarah konflik dengan penguasa Dinasti Qing pada abad ke-18 dan 19, suku Hui dipandang sebagian pihak di Cina sebagai kelompok minoritas panutan.
Seperti yang dikatakan seorang Han yang saya wawancara di Yinchuan, ibu kota Ningxia, saat melakukan penelitian lapangan, "Orang Hui 100% sudah menjadi orang Han".
Meskipun demikian, di daerah Hui yang lebih taat - seperti Weizhou - penduduknya mempraktikkan tradisi Islam dengan ketat. Hak atas fotoGETTY IMAGESImage captionHui adalah salah satu kelompok Muslim terbesar Cina.
Saat melakukan penelitian di kota itu, para penduduk dengan bangga menunjukkan bahwa sebagian besar orang di kota berhijab atau memakai topi salat putih tradisional. Hampir semua orang ke masjid setiap hari untuk salat berjamaah.
Tidak satu pun toko di kota menjual alkohol dan penduduk menyantap makanan halal.
Berbeda dengan ibu kota Provinsi Yinchuan, yang penduduknya dipandang sekuler atau "danhua", penghuni Weizhou adalah Muslim yang taat.
Masjid Besar -yang saat itu masih dibangun- sudah menjadi kebanggaan masyarakat.
Begitu selesai konstruksi, bangunan tersebut akan menjadi yang terbesar di Ningxia, dibangun dalam gaya Arab: dengan kubah putih yang berkilau, lengkungan dan menara langsing berbulan sabit.
Masjid ini akan menjadi bangunan yang cukup besar untuk seluruh anggota masyarakat saat salat Jumat.
Penggerebekan praktek keagamaan
Kurang setahun setelah rampung dibangun, masjid tersebut terjebak dalam kebijakan membuat agama menjadi lebih Cina, sesuai dengan arahan Presiden Xi Jinping.
Ini adalah sebuah usaha untuk menyatukan kekuasaan dan penolakan tegas terhadap negara-partai.
Pemerintah menerapkan kebijakan ini lewat bahasa keamanan, dengan menyatakan hal ini perlu dilakukan untuk menumpas ekstremisme keagamaan.
Dalam pidato Kongres Partai Komunis Cina (CCP) yang ke-19 pada bulan Oktober 2017, Xi menyatakan partai harus "menegakkan prinsip bahwa agama di Cina harus berorientasi kepada Cina dan memberikan arahan aktif kepada agama agar mereka dapat beradaptasi ke dalam masyarakat sosialis".
Setelah pernyataan Xi, pejabat setempat di seluruh Cina melakukan penggerebekan menyeluruh terhadap berbagai praktik keagamaan.
Operasi ini paling dirasakan masyarakat Muslim Cina. Hak atas fotoGETTY IMAGESImage captionKelompok Uighur mengatakan mereka menghadapi diskriminasi meluas di Xinjiang.
Contoh paling jelas dari kebijakan ini terjadi di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang di barat laut.
Sebuah laporan badan hak asasi manusia PBB baru-baru ini memperkirakan sekitar satu juta warga Uighur ditahan di kamp "pendidikan kembali" akibat dituduh negara-partai sebagai ekstrimis agama, karena mereka memakai hijab, pergi ke luar negeri, atau berbagi ayat Alquran di media sosial.<
Untuk menjawab desakan dari luar negeri agar menghentikan penggerebekan, pemerintah Cina menegaskan para pengkritik asing tidak sepenuhnya memahami keadaan.
Pada tanggal 13 Agustus, di tengah meningkatnya tekanan masyarakat dunia, Global Times menyatakan "media Barat seharusnya memeriksa keadaan secara langsung sebelum menuduh Cina".
Provinsi Muslim Cina panutan
Meskipun operasi paling keras dilakukan di Xinjiang, masyarakat Hui -terutama yang berada di Ningxia- mulai merasakan tekanan.
Sejumlah laporan menyebutkan operasi penghancuran Islamisasi lewat pengrusakan kubah masjid gaya Arab muncul dari Ningxia setahun lalu.
______________________________
Orang Hui di Cina Hak atas fotoGETTY IMAGES
Kelompok etnis terbesar ketiga Cina, sekitar 10 juta penduduk, sebagian besar di barat laut
Kebanyakan Muslim Sunni, kelompok Islam mayoritas dan sebagian besar berbahasa Mandarin
Hampir semua adalah keturunan pedagang Jalan Sutra, yang menikah campur dengan kelompok Mongol dan Cina Han
Beijing lebih bisa menerima Hui dibandingkan Uighur, kelompok yang konfliknya dengan pemerintah pusat banyak didokumentasikan
________________________________________________________________
Masjid Besar di Weizhou dengan gaya Arabnya menjadi sasaran operasi ini.
Dengan mengancam masyarakat Islam di Weizhou, pemerintah Cina berisiko memicu tindakan balasan dari sebuah masyarakat yang seharusnya menjadi salah satu contoh keberhasilannya. Hak atas fotoDAVID STROUPImage captionSlogan propaganda di provinsi Ningxia: "Sebuah keluarga nasional bersatu, berjabat tangan membangun "Tongxin baru".
Sama seperti kebanyakan daerah Cina barat lainnnya, pembangunan kota Weizhou tertinggal dibandingkan Pantai Timur yang lebih makmur. Pada tahun 1990-an, Weizhou mengalami kemiskinan dan masalah penyalahgunaan heroin. Pengumuman yang ditaruh di tempat umum masih mendorong usaha pemberantasan kecanduan.
Kebijakan Pembangunan Barat Besar-besaran pada permulaan tahun 2000-an menyalurkan sumber daya ke kota seperti Weizhou, dan dengan dukungan ekonomi ini, penduduk kota kecil Hui bangkit dari kemiskinan dan menumbuhkan kembali warisan Islamisnya.
Penduduk setempat menjadi wiraswastawan dan menjadi cukup makmur.
Masyarakat mendirikan sekolah untuk anak miskin agar dapat membaca Alquran.
Warga mulai salat secara teratur. Salah satunya mengatakan kepada saya, "Penduduk hidup dengan sederhana. Tidak ada gedung tinggi, tetapi warga setempat sebenarnya cukup makmur. Kehidupan disini nyaman."
Jauh dari penolakan ekstremisme pemerintah negara-partai, masyakat Hui di Weizhou berkembang berdasarkan inisiatif pembangunan di bawah pimpinan negara.
Ketaatan beragama masyarakat berkembang bersamaan dengan ekonominya. Penduduk kota memandang diri mereka sebagai contoh ketaatan Islamis dan patriotisme Cina.
Dengan mempertanyakan mereka, Partai Komunis Cina berisiko memicu penentangan di antara kelompok penduduk yang sebenarnya mereka tidak dapat korbankan.
***
Dr David R. Stroup adalah pengajar politik Cina, nasionalisme dan poltik kesukuan di Department of International and Area Studies, University of Oklahoma, Amerika Serikat.(BBC/bh/sya)
PT. Zafa Mediatama Indonesia Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359 info@beritahukum.com