TERNATE, Berita HUKUM - Nikel luas digunakan. Sifatnya tahan temperatur, tekanan tinggi, kuat dan mudah dibentuk membuatnya digunakan dalam peralatan canggih, seperti mesin pesawat jet, pembangkit listrik, hingga handphone. Nikel menopang kehidupan modern.
Namun nikel yang digunakan masyarakat modern ini kini pertambangannya sedang mengancam kehidupan masyarakat adat di Pulau Halmahera, Maluku Utara. Izin perusahaan tambang ini dalam bentuk Kontrak Karya dikeluarkan Soeharto pada 19 Junuari 1998, di tahun terakhir kekuasaannya. Kontrak karya ini dibuat tak melibatkan warga terdampak. Sehingga desa masyarakat adat, diantaranya Desa Gemaf, Lelilef Sawai, Lelilef Sawai dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan.
Warga desa ini hidup langsung dari kemurahan alam, seperti mengambil sagu, pala hutan, dan lain-lain. Juga menangkap ikan dari laut. Semua ini akan terancam akibat penambangan nikel yang akan mengupas kawasan hutan, menghasilkan debu masif skalanya hampir menyerupai daerah pinggiran terdampak letusan gunung berapi, dan serta erosi parah. Disamping warga desa ini, terdapat etnis Tobelo Dalam hidup nomaden di dalam hutan yang hendak ditambang. Mereka sangat tergantung kepada kebersihan sungai karena melahirkan bayi langsung di tepi sungai. Dan erosi pertambangan akan mengancam hak reproduksi mereka.
Sebuah penelitian yang dilakukan beberapa peneliti kampus Australia, yakni Universitas Melbourne dan Universitas Monash menyebutkan bahwa warga sekitar tambang ini diperangkap (fait accompli) agar melepaskan lahannya dengan nilai sejumlah uang yang rendah.[1]
Penelitian yang dikeluarkan 2 Oktober 2013 tersebut menyatakan pada saat konsultasi AMDAL, perwakilan desa tak mengetahui konsesi tambang akan mempengaruhi akses mereka terhadap lahan pertanian. Kepala Desa menyatakan, jika dia paham bahwa mereka akan kehilangan lahan yang telah mereka kelola dari generasi ke generasi, maka dia dulu tidak akan menyetujui AMDAL.
Pada tahun 2010, PT Weda Bay Nickel membuat kesepatakan di Jakarta dengan Kepala Desa Lelilef Sawai. Kepala desa menyetujui agar harga tanah Rp.8000 per meter persegi. Lalu jumlah ini disosialisasikan ke kampung dengan dasar “ambil atau tak dapat apapun sama sekali”. Sampai saat ini, masih ada 150 lebih kepala keluarga yang menolak melepas tanah mereka kepada perusahaan tambang nikel ini.
Sepanjang tahun 2011-2012 tercatat sudah 6 orang yang di kriminalisasi karena mempertahankan tanah mereka. Di sekitar kawasan hutan yang jauh dari pantauan media ini, BRIMOB dan TNI mendirikan pos. Dengan demikian, sedang terjadi kekuatan asimetris, dimana perjuangan masyarakat adat akan tanah dan lingkungan sedang menghadapi ekspansi modal internasional yang didukung pemerintah.
Munadi Kilkoda, Ketua BPH AMAN Maluku Utara menyatakan, perusahaan seharusnya tidak memaksa secara halus maupun paksaan agar warga menjualnya tanahnya. Karena hasil dari penjualan tanah tersebut tidak akan mencukupi untuk beberapa generasi ke depan, dan masyarakat adat telah memiliki budaya mengelola hutan, laut, dan alam di sekitar Teluk Weda, Halmahera Tengah secara lestari dari generasi ke generasi sebelumnya.
Ismet Sulaiman, Direktur WALHI Maluku Utara menyatakan, hutan Maluku Utara saat ini sedang berada dalam keadaan krisis akibat 2 buah penambangan kontrak karya berlangsung di kawasan hutan lindung. Dengan dilanjutkannya proyek tambang Weda Bay Nickel ini, berarti akan ada 3 buah perusahaan di hutan lindung, padahal hutan Halmahera adalah habitat bagi beberapa spesies langka dan endemis, seperti burung bidadari.
Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional WALHI menyatakan, pemerintah perlu melakukan revisi wilayah kontrak karya Weda Bay Nickel sesuai dengan isi Undang-undang no 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, agar ruang hidup masyakat Sawai dan Tobelo Dalam yang telah dimasukkan ke dalam peta konsesi agar dikeluarkan, sehingga hak mereka atas lingkungan hidup yang sehat sesuai UUD 1945 pasal 28H, terpenuhi dan terlindungi.(tum/rls/wlh/bhc/sya) |