JAKARTA, Berita HUKUM - Pakar ekonomi dan politikus Indonesia, yang juga mantan Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli menilai situasi kini nampaknya demokrasi serasa telah dikhianati dan dicurangi, oleh karenanya Pemerintahan yang curang dan tidak demokratis, pasti tidak akan bertahan. Demikian kata Rizal Ramli pada awak media pasca dirinya mengikuti peringatan 'Hari May Day 2019' yang juga dihadiri Capres 02 Prabowo Subianto bersama puluhan ribu buruh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) di Gelora Bung Karno (GBK) Senayan, Jakarta, pada Rabu (1/5).
"Saya sudah sering katakan 'wasitnya sudah tidak adil," tegas Rizal mengkritisi.
Maka itulah, yang juga mantan Menteri Perekonomian itupun memberikan saran agar bagaimana melakukan agar lebih adil, sebaiknya ada dilakukan audit forensik pada sistem komputerisasi Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) dengan segera saat ini.
Soalnya, kemuka Rizal seperti diketahui bahwa di KPU dalam upaya menginput/ data hasil itu ada sistem di Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU, "itu bagian depan (front hand), kalau salah masuk data maka otomatis 'ditolak'. Namun, anehnya ini bisa masuk di belakang (back hand) nya. Nah, kalau masuk bisa di atur-atur atau di kurang kurangi ataupun ditambahkan," jelasnya.
"Oleh karena itu saya minta agar KPU sistem komputerisasinya dilakukan audit forensik, maka akan diketahui siapa yang mengatur hasil begini dan begitu dan seterusnya," ujar Rizal menekankan.
Padahal, ia mengungkapkan bahwa beban anggaran penyelanggaran pesta demokrasi tahun 2019 ini saja menelan hampir sebesar 30 triliun rupiah. "Kok hasilnya benar-benar amatiran ? KPU nampak sangat 'Jumawa' sama sekali," unkap Rizal.
Rizal juga mengingatkan, di TPS ini, ketika diajukan atau keluhan dari rakyat untuk dikoreksi, mestinya di koreksi. "Saya ingatkan KPU dan pejabat-pejabat Pemilu ada UU nomor 7 tahun 2017 tentang KPU," jelas mantan Menteri Keuangan Republik Indonesia itu.
UU nomor 7 tahun 2017 pasal 532 berbunyi; Barang siapa yang melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seseorang pemilih menjadi tidak bernilai sah dan tidak dapat dipergunakan dengan berbagai alasan, atau menyebabkan peserta Pemilu tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suara bisa dikenakan pidana penjara selama 4 tahun, dan denda paling banyak 48 juta rupiah," urai Rizal.
Jadi, sanksi yang tegas berlaku ini sangat jelas memiliki tujuan menjamin hak pemilih dalam Pemilu. "Namun bila tercium aroma adanya indikasi pelanggaran terhadap pesta demokrasi (Pemilu), bisa melaporkan ke posko pengaduan hingga nantinya laporan disalurkan ke Bawaslu dan ditindaklanjuti," kata Rizal, yang juga sebagai tim dari BPN 02 Pasangan Prabowo- Sandi ini .
Kemudian, Rizal mengingatkan,"Siapapun yang menghilangkan suara rakyat, satu suara saja bisa kena pidana 4 tahun penjara dan denda 48 juta," cetusnya.
"Saya minta rakyat seluruh Indonesia bilamana pejabat KPUD yang menghilangkan satu suara dengan sengaja bergerak secara legal," kata Rizal.
Artinya, lanjut Rizal menghimbau agar rakyat kita bergerak secara legal, siapapun yang menghilangkan satu suara saja. Dan UU Ini termasuk lex spesiaalis, artinya tidak bisa UU lain membatalkannya," Imbuhnya.
"Ini masuk kategori tindak pidana dan UU ini lebih kuat. Sudah banyak yang melaporkannya, akan tapi KPU tidak melakukan perbuatan perbuatan yang profesional dan menindaklanjuti untuk koreksi. Maka itulah saya minta agar dilakukan audit forensik, agar lembaga kita lebih profesional dan bertindak jujur dan adil," tandasnya.(bh/mnd) |