JAKARTA, Berita HUKUM - Kejaksaan selaku eksekutor belum juga mengeksekusi terpidana penipuan Robianto Idup. Padahal putusan dari Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia sudah berkekuatan tetap (inkrach) sejak akhir tahun lalu. Hal iti dikarenakan stuasi pandemi Covid+ 19, dan rencananya Eksekisi akan dilakukam setelah PPKM Lebel 4.
Menurut Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejagung) RI, Fadil Zumhana terkait pelaksanaan putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap terpidana penipuan Robianto Idup yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkrach) otu, perkaranya ditangani Kejati DKI..
"Perkara tersebut saat ini ditangani Kejati DKI Jakarta. Silakan tannya kepada Aspidum, karena mereka yang mengetahui permasalahannya," ujar Jampidum, Fadil Zumhana seperti dilansir Matafakta pada, Rabu (4/8).
Berdasarkan hal itu, Asisten Tindak Pidana Umum (Aspidum) Kejati DKI Jakarta, Anang Supriatna saat dikonfirmasi menyatakan eksekusi terhadap terpidana, Robianto Idup, pihaknya akan mengingatkan Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan (Jaksel). Karena mereka sebagai jaksa eksekutornya.
"Soal itu nanti, saya ingatkan Kejari Jaksel, karena Kejari Jaksel sebagai eksekutor pelaksana putusan Pengadilan. Mereka yang mempunyai otoritasnya," ujarnya.
Sedangkan menurut Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan, Nurcahyo Jungkung Madyo pihaknya akan melaksanakan putusan Pengadilan apabila selesainya masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4.
"Kami masih sibuk melaksanakan perintah Jaksa Agung mengenai PPKM. Nanti setelah PPKM selesai pasti kami akan eksekusi," ujarnya kala itu, melalui sambungan telepon selullarnya kepada wartawan, pada Rabu (29/7).
Persidangan
Seperti diketahui, pada saat persidangan di PN Jaksel kala itu, Jaksa Marly Sihombing dari Kejati DKI dan Jaksa Boby Mokoginta dari Kejari Jakarta Selatan menuntut terdakwa Robianto Idup selama 3 tahun dan 6 bulan.
Namun, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menilai perbuatan terdakwa bukanlah pidana melainkan perdata yang kemudian memutus onslag van recht vervolging atau melepaskan terdakwa.
Tak terima dengan putusan Majelis Hakim, Jaksa mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Selanjutnya MA mengabulkan permohonan Jaksa dengan menghukum Robianto Idup selama 18 bulan penjara.
Kronologis
Kasus ini bermula sejak adanya kerja sama antara Robianto Idup selaku Komisaris PT. DBG dalam usaha pertambangan batubara dengan Herman Tandrin Dirut PT. GPE pada pertengahan tahun 2011.
Dimana PT. GPE yang memiliki peralatan lengkap diperjanjikan mengerjakan penambangan batubara diwilayah izin pertambangan PT. DBG di Desa Salim Batu, Kecamatan Tanjung Palas, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara.
PT. GPE pun melakukan mobilisasi unit, land clearing dan pekerjaan overburden sesuai yang diperjanjikan sampai Agustus 2011. Kemudian dilanjutkan penggalian batubara September 2011. Namun PT. DBG tidak kunjung melakukan pembayaran atas kerja PT. GPE hingga mengancam menyetop pelaksanaan pekerjaan penambangan.
Selanjutnya, Robianto Idup yang sebelumnya sudah saling kenal meyakinkan Herman Tandrin bahwa dirinya bukanlah tipe orang tak konsisten membayar hutang. Tersangka meminta diteruskan pekerjaan selanjutnya karena akan dibayar sekaligus dengan bayaran yang telah dilaksanakan maupun yang dikerjakan selanjutnya.
PT. GPE pun melakukan eksplorasi penambangan batubara hingga menghasilkan sebanyak 223.613 MT atau senilai Rp71.061.686.405 untuk PT. DBG. Namun, pihak PT. DBG yang diwakili Robianto Idup tak kunjung membayar PT. GPE yang ditaksir mencapai Rp72 miliar lebih.
Berbagai upaya dilakukan Herman Tandrin tak dihiraukan Robianto Idup hingga akhirnya Robianto Idup dan Iman Setiabudi dilaporkan ke Polda Metro Jaya.(bh/ams) |