JAKARTA, Berita HUKUM - Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono kembali menyatakan kekhawatiran mendalam menyangkut kehidupan bermasyarakat dan berbangsa akhir-akhir ini. Menurut dia, kerukunan masyarakat dan harmoni sosial kini terasa retak dan jauh dari semangat persaudaraan.
SBY mengatakan mengamati dengan tekun apa yang terjadi di Tanah Air dalam tiga hingga empat tahun terakhir. Bermula dari dinamika politik Pilkada DKI Jakarta 2017, kata dia, kehidupan masyarakat kini seperti berjarak dan terpisah.
"Terbangun polarisasi yang tajam di antara kita, baik karena faktor identitas, politik, maupun ideologi. Sepertinya masyarakat kita harus dibelah dua, kita dan mereka. Bahkan, 'kita lawan mereka'," kata SBY dalam tulisannya bertajuk 'Indonesia Tahun 2021 Peluang untuk Sukses Ada, Jangan Kita Sia-siakan', Jumat (8/1).
SBY mengatakan ada kondisi di mana kelompok yang berbeda identitas, partai politik, dan garis ideologi dianggap sebagai lawan. Bahkan untuk bicara pun merasa tak nyaman. Menurut SBY, garis permusuhan ini bahkan sudah menembus lingkaran persahabatan yang telah terbangun lama, bahkan lingkaran keluarga.
IFrame
"Saya sungguh prihatin jika lingkaran tentara dan polisi yang harusnya menjadi contoh dalam persatuan dan persaudaraan kita sebagai bangsa juga tak bebas dari hawa permusuhan ini," kata SBY, tanpa merinci maksudnya.
Menurut purnawirawan Jenderal TNI ini, keadaan tersebut sangat menyedihkan dan membahayakan masa depan bangsa. Ia lantas menyinggung tragedi berdarah Gerakan 30 September 1965 yang juga bermula dari polarisasi sosial tajam.
Begitu pula dengan konflik horisontal pasca-krisis 1998, seperti di Sampit, Poso, Ambon, dan Maluku Utara. SBY mengatakan saat itu perlu waktu 3-4 tahun untuk mengakhiri benturan dan kekerasan. Belum lagi fase rekonsiliasi dan mengembalikan kepercayaan yang memakan waktu lama.
"Saat ini, jika polarisasi antarkubu politik sangat tajam, kehidupan demokrasi pasti tidak sehat," kata mantan Ketua Umum Partai Demokrat ini.
Imbasnya, SBY melanjutkan, pemilihan calon pemimpin baik di pusat maupun daerah akan sangat dipengaruhi dan ditentukan dari apakah mereka memiliki identitas, paham ideologi, dan politik yang sama. Pertimbangan utama memilih pemimpin seperti faktor integritas, kapasitas, dan kesiapan untuk memimpin pun tak lagi dianggap penting.
SBY pun menyatakan khawatir dengan masa depan bangsa jika hal semacam ini terus menjadi kenyataan dan makin ekstrem dari tahun ke tahun. Jika polarisasi sosial dan politik ekstrem, kata dia, kontestasi dalam pemilu dan pilkada bisa sangat keras. Di negara dengan sejarah konflik seperti Indonesia, SBY berpendapat keadaan buruk semacam ini harus dicegah dan dihindari.
"Karenanya, mumpung belum terlalu jauh divisi dan polarisasi sosial serta politik di negeri kita, para pemimpin dan semua elemen bangsa harus sadar bahwa sesuatu harus dilaksanakan. Something must be done," ucap dia.
SBY mengatakan pembiaran dan kelambanan adalah dosa dan kesalahan besar. Dia juga meminta agar jangan ada yang justru sengaja membiarkan polarisasi terus terjadi demi kepentingan tertentu.
"Jangan pula ada yang justru menginginkan dan memelihara polarisasi sosial-politik yang tajam ini untuk kepentingan pribadi dan politiknya. Kalau ada pihak-pihak yang berpikiran dan bertindak seperti itu, menurut saya mereka bukan hanya tidak bertanggung jawab tetapi juga tidak bermoral," kata SBY.(bup/tempo/bh/sya) |