JAKARTA, Berita HUKUM - Terkait perpanjangan kontrak kerja sama PT Pelindo II dengan Hutchison Port Holding (HPH) asal Hongkong untuk pengelolaan Jakarta International Container Terminal (JICT), ratusan pekerja JICT yang tergabung pada SP JICT bersama Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (APHI) selaku kuasa hukumnya datang melapor ke Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta.
Kedatangan dan aksi demontrasi ratusan pekerja JICT terkait dengan privatisasi dan nilai konsesinya yang diduga kuat kental dengan nuansa KKN, mereka mendatangi kantor KPK kisaran pukul 10.30 WIB di Jl. HR. Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (22/9), guna melaporkan adanya dugaan korupsi pada proses perpanjangan konsesi JICT oleh Pelindo II kepada Hutchison Port Holdings (HPH).
Serikat Pekerja JICT menuding berdasarkan data-data dimilikinya, dengan bersikap dan mengambil langkah hukum terkait perpanjangan privatisasi PT. Jakarta International Container Terminal (semula 1999-2019) yang telah ditandatangani oleh Dirut PT Pelindo II pada 5 Agustus 2014 dan 22 Juni 2015 lalu, untuk masa perpanjangan 2019-2039 dengan nilai kontrak privatisasi periode 1999-2019 sebesar US$ 243 juta.
"Masa perpanjangan 2019-2039 yang dinilai kental dengan nuansa KKN, karena nilai kontrak privatisasi 1999-2019 US$ 243 juta," kata ketua Serikat Pekerja JICT, Nova Sofyan Hakim, saat di depan Kantor KPK, Selasa (22/9).
Berikut beberapa asumsi yang disampaikan oleh para serikat pekerja JICT, berdasarkan keterangan yang diperoleh pewarta BeritaHUKUM.com saat di gelar aksi unjukrasa berlangsung:
Pertama (1), Berdasarkan surat dewan komisaris pelindo II nomor 68/DK/PI.II/III-2015 tertanggal 23 Maret 2015 dinyatakan harga JICT setara dengan U$D 854 juta, jadi dengan penjualan U$D 215 juta maka sahamnya hanya 25% bukan 49% seperti yang diusulkan Dirut Pelindo II RJ Lino via konsultannya Deutch Bank selama ini.
Jika dipaksakan saham Hutchnison 49 persen, maka ada kerugian negara sebesar U$D 212 juta atau Rp 3 Trilyun.
Kedua (2), Bahwa wacana penjualan JICT sudah dimulai sejak jauh jauh hari atau tepatnya tertanggal 27 Juli 2012, lewat surat HK.566/14/2/PI.II-12 kepada CEO HPH. Hal ini janggal mengingat kontrak baru akan berakhir 7 tahun mendatang atau sekitar tahun 2019.
Ketiga (3), Indikasi dimana RJ Lino melanggar GCG (Government Contract Government) dengan berbohong kalau tender terbuka, terkait beberapa iklan perpanjangan konsesi JICT tanggal 8-9 Agustus 2014 di beberapa media nasional seperti; Kompas, Media Indonesia, lain lain memberitahukan bahwa perpanjangan Konsesi JICT tidak tender.
Keempat (4), Selain ada bukti yang menunjukan menerima gratifikasi suvenir senilai Rp.50 juta dari managing Direktor Hutchison Canning Fok tepat setelah final meeting perpanjangan konsesi JICT di HK pada 25 juni 2015, hal ini benar-benar kontradiktif dengan iklan anti gratifikasi di media.
Kelima (5),SP heran dengan lino karena mendeskriditkan bangsa sendiri karena tidak memberikan kesempatan anak bangsa mengelola gerbang ekonomi nasional JICT, harusnya lino bisa menjadikan kepentiingan nasional.
Nova juga mengatakan, "Tujuan kemari (KPK), melaporkan indikasi kecurangan terhadap perpanjangan Konsesi JICT ke KPK," ujarnya.
Karena menurutnya kecurangan ini terindikasi dari terlihat dari harga lebih murah dari tahun 1999, dimana harga U$D 243 juta perpanjangan U$D 215 juta turun U$D 28 juta. Padahal kapasitas JICT meningkat 2 kali lipat, dulu 1,4 juta sekarang sudah 2,8 juta.
Terlebih lagi menurut evaluasi yang dilakukan MPR RI, dan kemudian diverifikasi terhadap Deutch Bank, "Angka di kisaran 830 hingga U$D 850 Juta, hingga HPH harus membayar kisaran U$D 400an juta. Jadi ada perbedaan indikasi 200 juta USD, Kemudian kok masih bisa sama di U$D 215 juta," tegas ketua Serikat Pekerja JICT.
Sementara, JICT sudah dapat global bond U$D 1,6 milliar untuk bangun proyek-proyeknya, "Lantas untuk apa JICT sebagai gerbang ekonomi kedaulatan ekonomi nasional dijual untuk 20 tahun kedepan?. Ada potensi pendapatan JICT Rp.35 triliun yang hilang saat JICT dijual oleh Lino," papar Nova Hakim.
Selanjutnya, terkait dengan perpanjangan konsesi ini juga di tahun 2014 memuat bahwa, ini tidak dilakukan tender terbuka. Tapi tahun ini diberitahukan bahwa dilakukan tender. "Tidak dilakukan tender terbuka setahu kami. Padahal saat tender terbuka dapat penilaian terbaik," ungkapnya.
Sementara, menurutnya, perpanjanganya ini tidak melalui Departemen Perhubungan lewat UU Otoritas Pelabuhan, "Undang-undang nomor 17 tahun 2008 sendiri menyebutkan perlu. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, mestinya Pelindo II membuat kontrak dulu dengan otoritas pelabuhan, sebelum menyerahkan pengelolaan terminal peti kemas di Tanjung Priok ke pihak lain."
Selain itu mengacu pada pasal 82 dan dalam ketentuan peralihan pasal 344 di Undang Undang Pelayaran, maka perpanjangan konsesi pengelola pelabuhan dengan pihak lain harus didahului kontrak dengan otoritas pelabuhan. "Setelah itu, baru bisa memperpanjang konsesi perpanjangan kontrak JICT," jelas Ketua Serikat Pekerja JICT, Nova Sofyan Hakim.
Berkisar pukul 11.00 wib selepas perwakilan SP JICT menyerahkan laporan, para buruhpun beranjak meninggalkan halaman gedung KPK dan menuju ke pelabuhan Tanjung Priok, yang kabarnya akan melanjutkan aksi unjuk rasa juga. Nova- pun menyanyangkan, butuh berpuluh-puluh tahun untuk transfer knowledge, seharus selaku generasi bangsa harus siap mengelola "Privatisasi JICT ini" pungkasnya.(bh/mnd)
|