JAKARTA, Berita HUKUM - Ahli yang diajukan Para Pemohon Saldi Isra mengatakan bahwa, masalah korupsi di Indonesia terasa sulit diselesaikan, sebab ada persoalan yang signifikan pada tingkat peraturan perundang - undangan, terutama Pasal 30 UU Pemerintah Daerah (Pemda). Menurutnya, pasal tersebut mempunyai banyak celah sehingga dimanfaatkan atau membuka peluang bagi penegak hukum untuk menghianati atau tidak bergerak ke agenda pemberantasan korupsi.
Demikian salah satu inti keterangan ahli para Pemohon yang disampaikan dalam sidang pleno mendengarkan ketarangan saksi / ahli dari pemohon atau pemerintah, di Mahkamah Konstitusi, Rabu (26/9). “Banyak celah dalam Pasal 30 yang dimanfaatkan oleh orang yang sudah dijatuhi vonis yang mempunyai kekuatan hukum inkracht, namun menghindar untuk dieksekusi oleh aparat”, jelas Saldi Isra.
Selanjutnya, Saldi Isra yang menguraikan keterangan ahli melalui video conference (vicon) dari Universitas Andalas, Sumatra Barat, juga menjelaskan terkait kesamaan atau mempunyai pendapat yang sama dengan permohonan Para Pemohon. Menurutnya, hadirnya frase “paling singkat” yang terkandung dalam pasal tersebut, kemudian menimbulkan celah orang yang telah dijatuhi hukuman yang sudah mempunyai kekuatan hukum inkracht. “Saya bersepakat dengan dalil ini (permohonan Para Pemohon)”, ucap Guru Besar Universitas Andalas, Padang ini.
Dalam Kesempatan tersebut, Saldi juga mengharapkan kepada Mahkamah untuk bisa menafsirkan pasal - pasal yang diujikan oleh para Pemohon. “Mahkamah diharapkan bisa memberikan tafsir yang tepat sehingga tidak bisa lagi dijadikan cela untuk menghindar dari kemungkinan yang sudah inkracht dalam kasus - kasus termasuk korupsi”, tutur Saldi.
Seperti diwartakan, perkara ini dimohonkan oleh Zainal Arifin Mochtar dan Feri Amsari, serta Indonesian Corruption Watch (ICW). Mereka memohonkan pengujian Undang - Undang Nomor 12 / 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang - Undang Nomor 32 / 2004 tentang Pemda (Pasal 30 ayat (1) dan (2)) terhadap UUD 1945. Dalam permohonanya, mereka memohonkan uji konstitusionalitas atas Pasal 30 ayat (1) yang menyatakan, “Kepala daerah dan / atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila dinyatakan melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan.” Dan, Pasal 30 ayat (2) yang menyatakan, “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Menurut para Pemohon, pasal tersebut konstitusional sepanjang dimaknai, “Berlaku untuk kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana yang diancam pidana 5 tahun atau lebih, baik berdasarkan putusan pengadilan yang belum berkekuatan hukum tetap maupun putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum yang tetap.” “Jadi, tidak ada lagi frasa minimal 5 tahun. Karena, kata - kata minimal 5 tahun cenderung disalah maknai seolah - olah hanya ancaman 5 tahun saja”, tutur Donal Fariz selaku kuasa hukum para Pemohon saat sidang pendahuluan.(mk/bhc/opn) |