JAKARTA, Berita HUKUM - Sejarawan A.B Kusuma menyayangkan arsip nasional (Arsip Nasional Republik Indonesia/ANRI) tidak membuka kepada publik terutama peneliti untuk mengakses arsip otentik. Peneliti kesulitan mengakses sumber primer tentang BUPK dan PPKI. Padahal arsip yang otentik merupakan condition sine qua non untuk penulisan sejarah yang baik dan benar.
"Kalau pada masa Orde Baru mungkin bisa dimaklumi ketika masih terjadi de-sukarnoisasi. Tetapi sekarang sudah era reformasi. "De-Sukarnoisasi" sudah dicabut. Sekarang sudah ada UU Keterbukaan Informasi Publik. Tapi arsip primer BPUPKI dan PPKI masih tertutup," kata AB Kusuma dalam 'Bicara Buku Bersama Wakil Rakyat' di Press Room, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (16/10).
Menurut AB Kusuma, penulisan sejarah harus didasarkan pada sumber sejarah yang otentik, terutama sumber primer. Sesungguhnya suatu karya sejarah sedapat-dapatnya didasarkan atas sumber primer. Karya sejarah yang banyak memakai sumber primer dinilai lebih tinggi daripada karya sejarah yang berdasarkan sumber sekunder. Sekarang ini penulisan sejarah bukan dari sumber sejarah primer tapi dari sumber sekunder.
AB Kusuma mencontohkan Sejarawan Prof Nugroho Notosutanto menulis buku "Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara" (1981) dengan menggunakan sumber sekunder yaitu buku "Naskah Persiapan UUD 1945" susunan Prof Mr M. Yamin. Padahal buku M. Yamin banyak kesalahan dan ada rekayasa-rekayasa. "Arsip sekunder boleh dipakai asal tidak bertentangan dengan arsip primer," ujar Kusuma.
Setelah mengadakan penelitian, AB Kusuma berkeyakinan bahwa isi pidato M. Yamin dalam Naskah Persiapan UUD 1945 tidak otentik. Naskah Persiapan UUD 1945 tidak memuat pidato Bung Hatta, Ki Bagus Hadikusumo dan kurang lebih 30 anggota BPUPK. Sesungguhnya semua itu tercantum dalam dokumen yang dihimpun Mr AG Pringgodigdo dan adiknya Mr AK Pringgodigdo.
AB Kusuma sebagai Anggota Badan Pengkajian MPR RI mengaku sudah mencari arsip otentik BPUPK dan PPKI sejak tahun 1992. "Di Belanda, arsip BPUPK dan PPKI bisa diakses. Buka hanya arsip Pringgodigdo, tapi juga arsip yang sangat rahasia seperti arsip serangan Jogja," ungkap Kusuma.
Menurut dia, dengan terbitnya UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, maka informasi ke ruang publik sudah terbuka, tapi mengapa Arsip nasional belum membuka arsip primer.
AB Kusuma mencontohkan arsip soal lahirnya Pancasila.
"Saya setuju Pancasila lahir pada 1 Juni 1945, tapi Pancasila saat itu belum seperti Pancasila yang ada saat ini," katanya.
Menurut AB Kusuma, Pancasila pada 1 Juni tersebut masih mengalami revisi lagi pada 22 Juni dan baru mencapai kesepakatan, yakni penghapusan tujuh kata piagam Jakarta, menjadi empat kata, "Ketuhanan Yang Maha Esa, pada 18 Agustus 1945.
Pancasila yang disahkan pada 18 Agustus tersebut yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 dan berlaku hingga saat ini.
Kusuma menegaskan arsip-arsip otentik itu harus bisa dibuka dan diakses karena berpengaruh pada penulisan sejarah. Lebih jauh Kusuma mengungkapkan kesalahan-kesalahan penulisan sejarah mengenai pidato 1 Juni 1945, Piagam Jakarta (penghapusan tujuh kata), tentang hari lahir DPR, dan kesalahan di Pusat Dokumentasi Sejarah Konstitusi Mahkamah Konstitusi.
Sementara itu Direktur Layanan dan Pemanfaatan Arsip ANRI, Drs Agus Santoso, mengakui bahwa arsip yang disimpan ANRI tidak seluruhnya lengkap khususnya arsip pada masa awal kemerdekaan (Republik). ANRI masih melengkapi arsip salah satunya arsip tentang BPUPK dan PPKI. "Arsip nasional belum mendapatkan arsip-arsip itu," ujarnya.
Namun, Agus menegaskan bahwa arsip yang ada di ANRI sudah dibuka dan bisa diakses masyarakat. "Silakan diakses, bukan hanya arsip tentang BPUPK yang ada, tapi juga arsip perjuangan seperti perjuangan pahlawan di Surabaya dan Bandung Lautan Api," sebutnya.
Arsip yang masih ditutup, lanjut Agus, adalah arsip yang berkaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). "Arsip yang sifatnya khusus (tentang PKI) masih ada di lembaga lain. Kita belum mengumpulkannya. Selain arsip tentang PKI, semua arsip bisa diakses dan tidak ada yang tertutup," kata Agus.
Anggota DPR Komisi X, Popong Otje Djundjunan ikut menjadi narasumber dalam "Bicara Buku Bersama Wakil Rakyat: Menelisik Arsip Otentik Badan Penyelidik PPKI". Turut hadir Ketua Lembaga Pengkajian MPR RI Rully Chairul Azwar, Kepala Biro Humas MPR, Siti Fauziah.(MPR/Antara/bh/sya) |