JAKARTA, Berita HUKUM - Komisi III DPR RI menggelar rapat kerja dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Tito Karnavian beserta jajaran di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (12/10). Ketua Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo mengatakan, ada beberapa permasalahan yang akan di bahas dalam rapat.
Pertama, jelas Bambang, terkait penembakan tiga personel Brimob di Blora Jawa Tengah, baru-baru ini. Bambang mengaku, pihaknya meminta agar Kapolri lebih ketat kepada pelaku dan memberikan penindakan tegas sanksi kepada atasannya. Terutama, dalam hal pengawasan persenjataan yang dimiliki anggota Anggota Polri.
"Setiap tahun harus dilakukan evaluasi kepemilikan senjata dengan serangkaian test, terutama psikologi dan masalah pribadi Anggota Polri itu sendiri. Itu tugas langsung pimpinan yang bersangkutan," kata Bambang, saat memberikan pengantar rapat kerja. Hadir dalam kesempatan itu, sejumlah Pimpinan Komisi III DPR.
Pembahasan berikutnya, masih kata politisi F-PG itu, terkait polemik impor senjata oleh Polri, yang diramaikan oleh Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Menurut Bambang, permasalahan ini sudah selesai, karena ini merupakan tugas pemerintah.
"Koordinasi pemerintah yang buruk. Namun belakangan kita sudah mendapat penjelasan dari Menko Polhukam Wiranto, urusan ini sudah diselesaikan dengan baik, antara instansi di bawah Kemenko Polhukam," urai Bambang.
Berikutnya, terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Komisi III DPR berharap, tidak boleh ada lagi OTT yang tidak diketahui Kapolda di area Polda masing-masing di seluruh indonesia.
"Peristiwa OTT di Batu, Malang, ini merupakan suatu hal tidak boleh terjadi lagi. Dimana Kapoldanya tidak tahu ada kegiatan OTT di sana, dan yang diberitahu hanya Kapolres," imbuh Bambang.
Komisi III mengingatkan, agar penggunaan aparat bersenjata untuk mengamankan OTT tidak boleh berlebihan. Karena menurutnya penggunaan aparat dalam kasus OTT di Malang itu sudah seperti menangkap teroris. Bambang menggambarkan, aparat menggunakan senjata dan uniform lengkap, sementara yang di OTT adalah pejabat negara yang tidak mungkin punya pasukan bersenjata.
"Jadi kalau ada Kapolda yang tidak tahu di daerahnya ada kegiatan hukum atau OTT, maka Kapolri harus memberikan sanksi yang tegas. Karena Kapolda bertanggung jawab atas wilayah hukumnya, terkait dengan perkiraan ancaman dan gangguan di wilayahnya," tambah Bambang.
Berikutnya, terkait pemanggilan paksa. Bambang menjelaskan, sesuai dengan UU MD3, DPR RI diberi kewenangan untuk memanggil paksa seseorang setelah secara patut tiga kali berturut-turut yang bersangkutan tidak hadir dengan alasan yang jelas. UU itu mengamanatkan, pemanggilan paksa dapat dilakukan dengan bantuan Polri.
"Ini perintah UU, dan Polri tidak boleh menolak melaksanakan UU tersebut. Walaupun belum ada hukum acaranya, tapi saya yakin ada ruang untuk menegakkan dan melaksanakan UU itu," imbuh Bambang.
Dan pembahasan terakhir, kata politisi asal dapil Jawa Tengah itu, terkait pembentukan Densus Tipikor. Fokus pembahasan pada persiapannya, karena Komisi III DPR berharap Densus Tipikor bisa berjalan tahun 2018.(sf,rnm,mp/DPR/bh/sya) |