JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Meski dikecam keras Ketua DPR Marzuki Alie, Sekretaris Jenderal (Setjen) DPR Nining Indra Saleh tetap ngotot dengan anggaran Rp 4 miliar untuk proyek pengadaan alat absen sidik jari (finger print). Ia tak mempedulikan harga yang diajukannya itu terlalu mahal.
Sikap ini diperlihatkan Nining Indra Saleh kepada wartawan di gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (30/11), ketika ditanya mengenai proyek tersebut. Menurut dia, pihaknya tetap akan mengajukan dana sebesar itu, mengingat banyak peralatan yang harus dibeli sebagai rangkaian dari proyek tersebut.
“Memang harganya tergantung jenis dan model. Tapi tidak hanya alat finger print yang diadakan, kami juga membutuhkan alat pendukung lainnya, seperti server, flat barrier, monitor, PC, hingga kamera pengintai. Jadi ini plus integratioin visitor managemen, biar bisa lebih bagus," ujar Nining.
Menurut dia, hingga saat ini pihaknya sudah menghitung kebutuhan alat pemindai yang akan digunakan sebanyak 16 unit yang akan dipasang di seluruh pintu ruang paripurna DPR. Dengan adanya alat itu diharapkan pihaknya dapat memantau langsung tingkat kehadiran anggota Dewan lebih akurat. “Pengadaan ini juga untuk mendukung kinerja para anggota DPR,” jelas dia.
Pendapat Nining ini pun didukung Kabag Perawatan Gedung Setjen DPR, Soemirat. Dijelaskan, besarnya anggaran pengadaan alat tersebut tergantung tingkat kecanggihan alat yang akan digunakan. Memang kalau untuk finger print saja tak sampai Rp 400 juta saja. Masalahnya, kami inginkan ada integrasi visitor management, trus ada flat barrier, parabol CCTV, server, dan monitor. Anggaran untuk keperluan itu mencapai Rp 4 miliar,” tandasnya.
Jika DPR ingin berhemat, imbuh dia, bisa membeli alat manual absensi yang tentunya tidak memakan biaya cukup mahal. "Kalau sederhanana memang sangat murah, tapi manual. Datanya harus diprint dan tabulasi manual. Itu baru mau ditawarkan. Kalau dipilih sederhana, ya silahkan saja. Kami tidak ada masalah," ungkap Sumirat.
Dalam kesempatan terpisah, Wakil Ketua DPR Pramono Anung menyatakan bahwa sistem finger print ini belum tentu bisa memperbaiki citra serta kehadiran anggota Dewan. Mestinya para anggota DPR lebih fokus kepada kehidupan rakyat. Kehadiran anggota di parlemen, harus dilandasi atas kesadaran dan ketaatan kepada konstituen.
"Finger print hanya sebagai sarana, yang paling utama adalah kesadaran dari anggota, harus taat pada konstituennya. Alangkah lebih baiknya untuk menertibkan anggota, tidak menimbulkan masalah baru lagi. Kami tak ingin proyek itu berjalan, karena menimbulkan polemik di publik," tegasnya.(inc/rob)
|