JAKARTA, Berita HUKUM - Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi M. Guntur Hamzah membahas secara komprehensif mengenai hukum acara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) dalam Kuliah Umum Kelas Alumni yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH Unair), Selasa (30/3) lalu. Di hadapan 45 peserta kuliah, Guntur secara daring memaparkan materi berjudul "Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi".
Guntur di awal pembahasan memaparkan kewenangan dan kewajiban MK yaitu menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, memutus pembubaran politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sedangkan kewajiban MK yaitu memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden/Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Selain itu, MK juga mengemban kewenangan tambahan berupa memutus perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil pemilihan kepala daerah.
Terkait dengan kewenangan tersebut, sambung Guntur, MK setidaknya memiliki enam fungsi, di antaranya pengawal konstitusi, pengawal demokrasi, dan pengawal ideologi. Terkait dengan pengujian SKLN, dikatakan Guntur jika sejak 2003 hingga 2021 MK telah menggelar sejumlah 26 sidang perkara SKLN dengan perkara terbanyak diajukan pada 2011 sekitar 6 perkara.
"Inilah potret sengketa kewenangan lembaga negara yang sudah diselesaikan MK," sampai Guntur dari Ruang Kerjanya di Gedung MK, Jakarta.
Hukum Acara SKLN
Selanjutnya Guntur mengulas secara tuntas terkait hukum acara SKLN. Menurutnya, ada beberapa poin penting yang harus diketahui para pihak sebelum mengajukan perkara SKLN ke MK. Para pihak perlu mengenal istilah Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait. Sesuai pasal 3 ayat (1) PMK Nomor 8/PMK/2006, Pemohon SKLN adalah lembaga negara yang menganggap kewenangan konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga negara lain. Terkait hal ini, sambung Guntur, ada dua unsur yang harus diperhatikan dalam mengajukan diri sebagai Pemohon dalam perkara SKLN yakni memahami adanya kewenangan lembaga yang bersangkutan diatur dalam UUD 1945 dan kewenangan lembaga tersebut memiliki kepentingan langsung terhadap permasalahan yang dipersengketakan.
Berikutnya, sebagai Termohon adalah lembaga negara yang dianggap telah mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau yang merugikan Pemohon. Sedangkan sebagai Pihak Terkait adalah pihak yang dapat berkepentingan langsung dan tidak langsung yang dapat saja dihadirkan Mahkamah untuk diminta memberikan keterangan guna memperjelas duduk perkara yang dipersengketakan. Selain tigal hal tersebut, hal yang juga perlu diketahui dalam perkara SKLN adalah kedudukan hukum Pemohon. Karena hal ini berhubungan dengan subjek dan objek perkara sebagaimana dijelaskan dalan Putusan MK Nomor 2/SKLN-IX/2011.
"Sifatnya harus kumulatif, jika tidak terpenuhi syarat objek dan subjek hukum, baik salah satu dan atau keduanya maka MK tidak berwenang mengadilinya," jelas Guntur.
Kemudian Guntur beranjak mengenalkan langkah-langkah yang harus disiapkan dan dilakukan ketika Pemohon ingin mengajukan perkara SKLN. Dalam pengajuannya, Pemohon dapat memohonkan perkara yang telah dibuat secara tertulis dengan sistematika yang telah ditentukan. Untuk mengetahui sistematika dan unsur-unsur yang terkandung dalam sebuah permohonan, para peserta diajak Guntur untuk mengakses laman MK yang dapat dibuka oleh publik dari lokasi mana saja.
Setelah mempersiapkan permohonan, maka proses beracara di MK pun hampir sama dengan proses beracara pada pengadilan, mulai dari pengajuan permohonan, pemeriksaan permohonan berupa syarat dokumen dan registrasi, hingga penjadwalan sidang. Selanjutnya, MK akan menggelar sidang dengan tahapan sidang pendahuluan yang memberikan kesempatan kepada Pemohon untuk memaparkan isi permohonan dan kemudian Pemohon diberikan waktu untuk menyempurnakan permohonan. Setelah rangkaian persidangan dilakukan hingga pembuktian persidangan, maka Mahkamah akan menggelar Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) guna menentukan argumentasi terhadap putusan yang akan diucapkan pada hari pembacaan putusan.
Untuk perkara SKLN, di samping putusan akhir, juga dikenal putusan sela. Artinya, putusan yang dikeluarkan MK memerintahkan kepada Pemohon/Termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang sedang dipersengketakan sampai adanya putusan akhir dari MK. "Sehingga di-hold dulu kewenagan yang diemban oleh suatu lembaga yang perkaranya sednag dibahas di MK. Jadi tidak ada yang dapat menggunakan kewenanganya dulu karena MK meminta untuk menghentikannya sementara hingga adanya putusan nantinya," terang Guntur.
Pada sesi akhir, Guntur menerangkan terkait jenis putusan MK dalam perkara SKLN, yaitu putusan yang tidak dapat diterima, dikabulkan, dan ditolak. Sebagai ilustrasi, Guntur memberikan beberapa contoh putusan MK yang berhubungan dengan SKLN. Salah satunya putusan yang dinyatakan tidak dapat diterima yaitu Putusan Nomor 3/SKLN-XI/2013. Dalam perkara ini, Pemohon yang mengajukan perkara adalah Bawaslu, sedangkan pihak Termohon adalah DPRA dan Gubernur Aceh. Dalam pertimbangan hukum, Mahkamah menyatakan bahwa kewenangan yang menjadi objectum litis permohonan Pemohon bukanlah kewenangan Pemohon yang diberikan UUD 1945, melainkan kewenangan yang diberikan UU 15/2011. Sehingga, dalam perkara ini sengketa yang diajukan bukan merupakan objectum litis dalam SKLN sebagaimana yang dimaksudkan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 61 UU MK.
Usai menjabarkan materi, Guntur memberikan kesempatan kepada para peserta untuk mengajukan pertanyaan dan tanggapan. Di penghujung kegiatan, Guntur mengajak para mahasiswa berkunjung ke laman www.mkri.id untuk dapat mempelajari, mengetahui, dan mencermati berbagai perkara SKLN yang pernah diselesaikan oleh MK. Hal ini dirasakan perlu agar para mahasiswa semakin memahami kewenangan MK terkait sengketa lembaga negara.(sp/nr/MK/bh/sya) |