PALU, Berita HUKUM - Sepanjang tahun 2013, ekspansi pertambangan di Sulawesi Tengah banyak bermasalah. Selain dari merusak hutan dan lingkungan hidup, perusahaan tambang juga merampas lahan petani, mengkriminalisasi dan mengintimidasi petani penolak tambang. Hal itu dikatakan oleh Rifai Hadi, Manager Riset dan Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng, Rabu (26/12).
Berdasarkan fakta-fakta temuan lapangan dan monitoring Jatam Sulteng, bahwa di tahun 2013 ada beberapa perusahaan tambang tanpa izin namun terus mengelola hingga saat ini, yakni: Pertama, PT Jakarta Cosmos. Perusahaan tambang ini berlokasi di Dusun Malempak Desa Dadakitan Kecamatan Baolan Tolitoli, yang beroperasi sejak akhir tahun 2012 hingga sekarang. Kedua, PT. Matoa Ujung. Perusahaan tambang ini juga tak memiliki izin eksploitasi, namun sudah melakukan kegiatan operasi produksi. PT. Matoa Ujung yang dipimpin langsung oleh A Ling asal Korea, mengakibatkan petani di Lambunu menderita kerugian. Selain itu, di Kabupaten Morowali, ada sekitar 177 IUP yang tidak memenuhi prosedur Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Artinya, perusahaan tambang itu: illegal. Ini betul-betul aneh!
Penguasaan ekspansi tambang di Sulawesi Tengah pun begitu luas, hingga mencapai dengan total luasan 1.676.844,30 Hektar. Dari total tersebut, dapat dirincikan sebagai berikut: di Kabupaten Banggai seluas 161.517,00 hektare; Kabupaten Buol seluas 56.942,74 hektare; Kabupaten Donggala seluas 108.109,00 hektare; Kota Palu seluas 4.773,13 hektare; Kabupaten Morowali seluas 600.098,60 hektare; Kabupaten Parigi Moutong seluas 130.383,00 hektar; Kabupaten Poso seluas 146.931,00 hektare; Kabupaten Sigi selus 12.140,00 hektar; Kabupaten Tojo Unauna seluas 315.735,40 hektar; Kabupaten Tolitoli seluas 126.623,40 hektar; sementara untuk lintas Kabupaten Morowali & Banggai seluas 13.590,00 hektar.
Dari total konsesi perusahaan tambang itu, menguasai sektor hutan, mencapai satu juta hektar, dengan total luas Hutan di Sulteng mencapai seluas 3.248.458 hektar, yang semakin tahun semakin berkurang. Data-data yang didapatkan Jatam Sulteng tersebut, belum termasuk Kontrak Karya (KK) PT Inco yang sekarang berubah nama menjadi PT. Vale Indonesia mencapai luas 32.125 Ha di blok Bahodopi Kabupaten Morowali, Blok migas DSLNG di Kabupaten Banggai, dan KK PT CPM di empat blok di Sulteng.
Di sisi lain, laju deforestasi dan degrasasi hutan begitu tinggi setiap tahunnya. Pemerintah berdalih, bahwa laju itu di sebabkan oleh pertumbuhan penduduk dan pembukaan perkebunan warga, namun Jatam menemukan fakta, bahwa laju deforestasi dan degradasi hutan disebabkan oleh pertambangan dan perkebunan kelapa sawit, yang hingga saat ini semakin meluas. Banyak perusahaan tambang yang terus merusak dan melakukan kejahatan terhadap hutan, namun terus dibiarkan oleh pihak berwajib. Contohnya, PT. Bintang Delapan Mineral, PT. Vale Indonesi, PT Arthaindo Jaya Abadi, PT Reski Utama, dan masih banyak perusahaan tambang lainnya.
Akibatnya, rakyat menerima residu: Pertama, di Kabupaten Morowali. Ekspansi pertambangan tanpa mempedulikan ekologi. Zona penyangga pun dimusnahkan secara massal. Sehingga, Morowali menjadi langganan bencana. Banjir yang melanda Morowali pertengahan tahun 2013, telah melumpuhkan aktifitas perekonomian, dan bahkan merenggut jiwa. Dan, mengakibatkan kerugian sekitar 12 milyar; Kedua, perusahaan tambang PT Matoa Ujung yang memporak-porandakan gunung Madoko, sehingga mengakibatkan tercemarnya sungai yang mengairi ke sawah.
Akibatnya, petani yang sebelumnya mampu berpenghasilan diatas dari 3 ton padi/hektar, kini petani hanya bisa menghasilkan 1,8 ton/hektar; Keempat, perusahaan tambang bijih besi PT. Arthaindo Jaya Abadi, yang merusak lahan sekitar 30 Hektar, dan 20 wilayah perkebunan di gusur tanpa persetujuan masyarakat. Selain itu, perusahaan ekstraktif ini diduga mencemari sungai kafekai, sehingga sungai tak bisa dipergunakan untuk keperluan sehari-hari.
Selain itu, kriminalisasi dan intimidasi petani terus mengaung di tahun 2013, tercatat 20 kasus yang melibatkan aparat kepolisian, pihak perusahaan, baik perusahaan tambang maupun perusahaan kelapa sawit, dan pemerintah dalam hal mengkriminalisasi dan mengintimidasi petani layaknya orde baru. Dari berbagai kasus tersebut, mengakibatkan petani trauma dan kehilangan tanah. Beberapa kasus tersebut dapat dijabarkan, sebagai berikut: Pertama, kasus yang terjadi kepada petani Podi.
Beberapa hari menjelang hari raya idul Fitri, kepolisian sektor Tojo, mengkriminalisasi petani dengan tuduhan penyerobotan tanah. Padahal, para petani itu hanya memblokir akses jalan perusahan tambang PT. Arthaindo Jaya Abadi (AJA), pada tanggal 26 Juli 2013. Kedua, Penahanan dua orang petani di Desa Honbola, Kecamatan Batui Kabupaten Banggai. PT Delta Subur Permai (PT.DSP) melaporkan 2 orang warga kepada pihak kepolisian. Tak puas dengan itu, pada tanggal 28 November 2013 kembali 3 orang petani di jadikan tersangka, dan belakangan 20 orang warga lainnya di sebut-sebut juga terlibat pada kasus yang sama. Penangkapan dan tuduhan terhadap petani Desa Honbola tersebut sebagai reaksi atas aksi pemalangan jalan pada tanggal 15 Oktober yang di lakukan oleh kurang lebih 30 orang petani pada wilayah Singsing yang di klaim oleh PT DSP.
Jatam Sulteng memandang, bahwa pernyataan pemerintah selama ini terkait dengan peningkatan ekonomi daerah, sangatlah tidak sesuai dengan arena peningkatan kesejahteraan rakyat. Pun, pen-agung-an atas nilai ekspor bahan mentah yang tinggi, telah menyensarahkan rakyat, yang dapat dilihat dari akibat industry ekstraktif itu. Pemerintah seharusnya dapat berpikir lebih jernih lagi atas kerugian rakyat dan negara selama ini. Oleh karena itu, Jatam Sulteng terus mendorong, bahwa industry ekstraktif pertambangan mesti dihentikan, sebab skala konflik, bencana, dan kerugian yang dialami daerah selama ini terus meningkat setiap tahunnya.(jtm/bhc/sya)
|