SAMBAWA-Sudah 66 tahun kemerdekaan Indonesia, tapi belum dapat dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat adat Sambanete Walandawe, Sambawa, Sulawesi Tenggara (Sultra). Masyarakat Sambawa sejak lama telah berusaha merebut kembali tanah mereka yang diklaim perusahaan perkebunan sawit PT Sultra Prima Lestari (SPL).
Seperti dikutip lama walhi.or.id, tahun lalu masyarakat, melakukan demonstrasi dan membersihkan lahan mereka dari tanaman sawit. Mereka juga melaporkan PT SPL atas penyerobotan lahan (landgrabbing), sementara perusahaan balik melaporkan mereka atas perusakan kebun sawit.
Hj. Nurjaniah Gazali atau yang lebih akrab disebut Ibu Mimi adalah salah satu tokoh masyarakat yang dilaporkan PT SPL. Beliau adalah keturunan keempat dari Kapita Larambe, seorang pejuang leluhur masyarakat adat Sambawa yang makamnya termasuk dalam lahan yang diklaim oleh perusahaan.
Belum selesai penyidikan di kepolisian, ibu Mimi digugat oleh PT. Celebes Agro Lestari (CAL) di PN Unaaha sejumlah Rp 5 miliar, karena dianggap sebagai pimpinan masyarakat yang “melakukan perbuatan melawan hukum merugikan perusahaan”, dan saat ini dalam proses banding.
Bulan lalu majelis hakim memutuskan bahwa ibu Mimi harus membayar Rp 500 juta sebagai ganti rugi kepada PT CAL. Putusan ini tentunya menuai protes masyarakat di pengadilan, dan lagi-lagi berujung pada kriminalisasi.
Selain upaya banding, Kamis (18/8), Walhi Sultra dan LBH Kendari juga mengadakan eksaminasi publik terhadap putusan PN. Di antaranya dugaan keganjilan dalam putusan PN itu adalah tidak dipermasalahkannya status penggugat, dimana masyarakat selama ini berkonflik dengan PT SPL, sementara yang menggugat adalah PT CAL, meski pemiliknya sama.
Selain itu, majelis hakim sebagaimana terekam dalam berita acara persidangan memperlakukan ibu Mimi dan persidangan sebagaimana layaknya perkara pidana. Bahkan, dengan aktif terkesan mengarahkan persidangan.
Meski tidak cukup kuat bukti bahwa ibu Mimi merupakan koordinator aksi, majelis hakim tetap menuduhnya demikian dengan asumsi “dalam setiap demonstrasi pasti ada penggerak atau sebagai penanggungjawabnya” dalam salinan Putusan Nomor 12/Pdt.G/2010/PN.Unh.
Ibu Mimi merupakan penerima award Perempuan Pejuang Lingkungan Walhi pada April 2011 lalu. Secara diskriminatif dan sistematis ia telah “dipilih” untuk digugat, dengan harapan dapat melemahkan perjuangan masyarakat secara keseluruhan. Akan tetapi permasalahan panjang konflik lahan tak akan selesai dengan tekanan kepada Ibu Mimi.
Walhi menuntut agar pemerintah segera menuntaskan konflik masyarakat dengan perusahaan sawit, dengan memberikan pemenuhan hak masyarakat terhadap tanah yang telah dimiliki oleh leluhurnya sejak berabad-abad.
Walhi juga berharap institusi peradilan dalam perkara ini dapat menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum dan keadilan khususnya bagi masyarakat yang lemah posisinya ketika berhadapan dengan perusahaan.(rls/ans)
|