Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
EkBis    
Pangan
Sistem Pangan Nasional Memburuk Akibat Dampak Impor
Tuesday 16 Jul 2013 13:54:00
 

Ilustrasi, Pasar tradisional masih menjadi andalan pemenuh kebutuhan pangan sehari-hari.(Foto: Ist)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Upaya pemerintah meredam gejolak harga kebutuhan pokok, khususnya pangan, dengan jalan menambah pasokan dari impor menunjukkan negara telah mengabaikan kehidupan petani.

Pasalnya, dengan membuka lebar-lebar pintu impor pangan, membuat sistem pertanian dan pangan nasional makin terpuruk.

Kebergantungan yang semakin tinggi terhadap pangan dari negara lain juga mengindikasikan pemerintah tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok dari sumber dalam negeri sehingga Indonesia telah masuk dalam jebakan impor pangan yang berpotensi mengancam kedaulatan negara.

Saat ini, lebih dari 70 persen kebutuhan pangan nasional berasal dari impor dan menghabiskan devisa sekitar 125 triliun rupiah setahun.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice, Riza Damanik, mengemukakan ada dua faktor penyebab kegagalan Indonesia membangun kemandirian pangan.

Pertama, Indonesia tersandera dengan perjanjian perdagangan bebas dan Organisasi Perdangan Dunia (WTO) yang mensyaratkan pemerintah mengurangi peran dalam pengelolaan pangan.

"Di sisi lain, inisiatif diberikan sebesar-besarnya kepada perusahaan transnasional yang akhirnya mengharuskan pemerintah terus mengurangi subsidi petani rakyat dan membuka kesempatan bagi asing mengelola sektor pangan hingga 95 persen," jelas Riza di Jakarta, Rabu (10/7).

Faktor kedua, lanjut dia, secara internal proses politik telah menggeser sektor pangan menjadi mesin uang partai politik sehingga menyuburkan kartel pangan dan perburuan rente. "Pemerintah lebih berperan sebagai broker impor ketimbang melindungi keluarga petani. Padahal, seharusnya peduli dengan petani ketimbang importir pangan," papar Riza.

Seperti diketahui, Rakor Persiapan Hari Besar Keagamaan, Rabu, memutuskan untuk membuka keran impor beberapa komoditas bahan pangan. Tujuannya, untuk mencukupi pasokan bahan pangan yang menyusut akibat berakhirnya musim panen, seperti bawang merah dan cabai rawit.

Pemerintah lalu memberikan izin impor bawang merah 16.781 ton dan cabai rawit 9.715 ton untuk kebutuhan semester II-2013. Selain itu, keran impor daging sapi dibuka. Bulog bertugas menstabilkan harga daging sapi akan mendatangkan sekitar 200 ton daging sapi beku di Tanah Air, pekan depan.

Menurut catatan pemerintah, harga cabai rawit pada pekan kedua Juli 2013 melonjak 63,3 persen menjadi 45 ribu rupiah per kg dalam sebulan. Pada kurun waktu yang sama, harga bawang merah melesat 49,08 persen menjadi 48.213 rupiah per kg.

Sebelumnya, ekonom Faisal Basri menilai pangan sudah menjadi masalah struktural, namun penanganannya sebatas di permukaan dan "gagah-gagahan", tetapi miskin substansi. Dia mengungkapkan sejak 2007 Indonesia mengalami defisit perdagangan pangan. Impor pangan meningkat lebih cepat ketimbang ekspor pangan sehingga defisit cenderung melebar.

Berdasarkan Global Food Security Index 2012 yang dikeluarkan Economist Intelligence Unit, indeks keamanan pangan Indonesia sudah di bawah 50 (skor antara 0–100) dan berada di urutan ke-64 dari 105 negara. Posisi kebanyakan negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, dan China, lebih baik daripada Indonesia.

Negara-negara industri maju sekalipun tak mengabaikan persoalan pangan ini, sebagaimana terlihat dari skor mereka yang tinggi. Misalnya Amerika Serikat dengan skor 89,5 dan berada di posisi puncak. Jepang dan Korea pun berada pada posisi terhormat, masing-masing ke-16 dengan skor 80,7 dan ke-21 dengan skor 77,8.

"Kedaulatan pangan kita sudah semakin tergerus dan kian rentan menghadapi fluktuasi harga pangan dunia, apalagi ditambah dengan perubahan iklim yang kian ekstrem," papar Faisal.

Jalan Pintas Pengamat pertanian, Khudori, menilai langkah pemerintah dalam mengatasi gejolak harga pangan melalui operasi pasar dan pembukaan keran impor menunjukan pemerintah tidak mengantisipasi kenaikan harga yang sangat memberatkan masyarakat.

"Kita ini negara agraris dan mempunyai kekayaan akan hasil alam yang melimpah, masa tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan sendiri dan selalu harus mencari jalan pintas terus dengan mengimpor. Kesalahan fatal ini telah berlangsung lama. Kemudian menjadi ketergantungan. Ini harus diubah," kata dia.(bhc/rat)



 
   Berita Terkait > Pangan
 
  Aparat Penegak Hukum Didesak Turun Tangan Investigasi Kasus Mafia Pangan
  Ansy Lema: Bapanas Harus Bereskan Carut-Marut Pangan Nasional
  Hadapi Ancaman Krisis Pangan, Pemerintah Diminta Lebih Waspada
  Pemerintah Diminta Antisipasi Ancaman Krisis Pangan
  Harga Pangan Belum Stabil, Andi Akmal Pasluddin Tegaskan Pemerintah Segera Kerja Optimal
 
ads1

  Berita Utama
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

 

ads2

  Berita Terkini
 
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2