Oleh: Hence Mandagi
Yang Terhormat :
Presiden Republik Indonesia
Bpk H. Ir Joko Widodo.
RANCANGAN SEMBILAN program prioritas pembangunan atau Nawacita yang Bapak gulirkan sejak pertama kali Bapak memimpin negeri ini sepertinya berjalan cukup dinamis. Keberhasilan pembangunan infrastruktur di masa pemerintahan sekarang sungguh bisa dirasakan langsung masyarakat di berbagai pelosok neggeri, bahkan hingga ke wilayah Papua yang dulunya sulit terjangkau pembangunan. Kebijakan ekonomi yang Bapak luncurkan pun berhasil merangsang pertumbuhan ekonomi nasional kian stabil. Simpati publik atas kinerja pemerintahan saat ini menempatkan Bapak pada posisi tertinggi poling calon presiden 2019 dibanding calon lain di hampir seluruh lembaga survey nasional.
Namun sayangnya sederet prestasi yang Bapak raih itu rasanya belum lengkap jika ada potensi yang menguasai ruang publik justeru terabaikan.
Yang saya maksudkan adalah ruang lingkup Pers Indonesia yang kelihatannya terluput dari perhatian Bapak selaku orang nomor satu di republik ini.
Kriminalisasi pers yang kian marak terjadi di era kepemimpinan Bapak, sejujurnya agak mengurangi kekaguman saya terhadap performa kepemimpinan Bapak sebagai Kepala Pemerintahan.
Baru-baru ini insan pers tanah air dikejutkan dengan peristiwa tewasnya Wartawan Media Kemajuan Rakyat Muhammad Yusuf saat berada dalam tahanan.
Almarhum M.Yusuf dikriminalisasi dan dijebloskan ke penjara karena kerap memberitakan kepentingan warga yang terzalimi. Polisi, Jaksa, dan Dewan Pers yang memeriksa dan menangani kasus ini sepakat bahwa tulisan almarhum M Yusuf yang dimuat di media Kemajuan Rakyat adalah perbuatan kriminal. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers jelas-jelas tidak berlaku bagi almarhum M Yusuf.
Kriminalisasi terhadap sebuah karya jurnalistik ternyata tidak hanya dialami almarhum M.Yusuf sendirian melainkan juga dialami sejumlah wartawan di berbagai daerah. Dan itu semua terjadi di era pemerintahan sekarang.
Baru-baru ini juga wartawan media online Berita Rakyat Slamet Maulana ditangkap petugas Polres Sidoarjo karena memberitakan soal wanita penghibur beroperasi di lokasi karaoke keluarga.
Sementara di Padang Sumatera Barat, Pemimpin Redaksi Media Jejak News Ismail Novendra diseret ke kursi pesakitan karena menulis berita dugaan KKN pengusaha kontraktor kerabat dekat Kapolda Sumbar.
Di Nusa Tenggara Timur, Wartawan media online Fajar Timor Bony Lerek dijadikan tersangka karena menulis berita tentang dugaan korupsi yang melibatkan Bupati Timor Tengah Utara, Raymundus Fernandez.
Belum lama ini pula dua awak media online Sorot Daerah di Sumut dijemput paksa polisi. Keduanya diamankan terkait tulisan yang mengkritisi 'kemesraan' Kapolda Sumut Irjen Pol Paulus Waterpauw dengan seorang tersangka kasus penipuan. Kedua awak media online sorotdaerah.com yang diamankan yaitu Jon Roi Tua Purba dan Lindung Silaban. Keduanya dituduh telah melakukan penyebaran berita hoaks atau penghinaan dan atau pencemaran nama baik terhadap Kapolda Sumut Irjen Pol Paulus Waterpauw.
Sementara itu, di Riau, Pimred Harian Berantas Toroziduhu Laia juga diseret ke meja hijau PN Pekanbaru terkait kasus pelanggaran UU ITE yang dituduhkan Bupati Kabupaten Bengkalis dan Polda Riau akibat berita kasus korupsi dana Hibah/Bansos untuk Kabupaten Bengkalis.
Dan masih banyak lagi wartawan di berbagai daerah dikriminalisasi akibat pemberitaan.
Sangat disayangkan Dewan Pers yang berfungsi untuk melindungi kemerdekaan pers justeru menjadi bagian terpenting dalam upaya mengkriminalisasi pers Indonesia.
Penerapan Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan yang mewajibkan wartawan mengikuti proses Uji Kompetensi Wartawan atau UKW kian mengancam eksistensi pers di Indonesia.
Wartawan yang belum atau tidak mengikuti UKW akan dianggap illegal oleh Dewan Pers dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Terbukti dalam berbagai kasus aduan sengketa pers, Dewan Pers tidak segan-segan mengeluarkan rekomendasi dengan pertimbangan bahwa wartawan yang menjadi teradu belum mengikuti UKW sehingga perkara yang diadukan dapat diteruskan ke pihak kepolisian dengan pasal pidana umum.
Padahal pelaksanaan UKW oleh Dewan Pers ini adalah bertentangan dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga-kerjaan karena yang berwenang melaksanakan Uji Kompetensi adalah Lembaga Sertifikasi Profesi yang disahkan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi atau BNSP dan bukannya oleh Dewan Pers. Jadi seluruh LSP yang ditunjuk oleh Dewan Pers tidak memiliki dasar hukum untuk diterapkan bagi wartawan dalam mendapatkan sertifikat kompetensi.
Persoalan lain yang menghantui pers adalah ratusan ribu wartawan dan pekerja pers terancam kehilangan pekerjaan alias menganggur akibat ulah Dewan Pers yang ngotot menerapkan aturan kewajiban Verifikasi terhadap media massa meskipun bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Betapa tidak, sekitar 43 ribu media cetak dan elektronik (versi Dewan Pers) yang belum terverifikasi terancam 'dibredel' masal oleh Dewan Pers.
Di tengah upaya keras pemerintah merangsang pelaku usaha menciptakan lapangan pekerjaan baru, Dewan Pers justeru sibuk mengeliminir eksistensi dan legitimasi perusahaan pers yang dianggap belum diverifikasi. Ke 43 ribu media yang belum terverifikasi tersebut, selain kehilangan legitimasi juga terancam dikriminalisasi oleh Dewan Pers.
Fakta ini jelas menegaskan bahwa Undang-Undang Pers seolah-olah tidak berlaku bagi sekitar 43 ribu media yang belum terverifikasi Dewan Pers. Kondisi ini tak ubahnya dengan pembredelan masal model baru versi Dewan Pers.
Padahal, sesungguhnya kebijakan verifikasi media yang dilakukan Dewan Pers telah melanggar dan menyimpang dari aturannya sendiri yakni Peraturan Dewan Pers Nomor 4/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar Perusahaan Pers.
Pada poin ke 17 peraturan tersebut, berbunyi "Perusahaan Pers media cetak diverifikasi oleh organisasi perusahaan pers dan perusahaan pers media penyiaran diverifikasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia. Sangat jelas dan terang benderang bahwa aturan Dewan Pers tersebut menyebutkan tugas verifikasi adalah kewenangan Organisasi Pers dalam hal ini Organisasi Perusahaan Pers, tapi pada kenyataannya Dewan Pers secara sepihak mengambil alih peran tersebut.
Dalam kondisi pers nasional sudah seperti ini negara kelihatannya belum mau hadir melihat keberadaan pers Indonesia yang makin terpuruk.
Saya masih tetap optimis bahwa Bapak selaku Presiden Republik Indonesia tidak akan tinggal diam menyikapi permasalahan pers di Indonesia. Untuk mengatasi kondisi ini kami minta dengan tegas kepada Bapak Presiden untuk segera membekukan dan membubarkan kepengurusan Dewan Pers periode ini dan menyerahkan sepenuhnya kepada seluruh Organisasi Pers dan perusahaan pers untuk menentukan kembali anggota baru Dewan Pers yang benar-benar profesional, dan bukan dari kalangan mantan pejabat yang hanya ingin tetap eksis di pentas nasional.
Anggota Dewan Pers harus lahir dari rahim insan pers dan seluruh organisasi pers dan perusahaan pers yang diakui oleh negara, dan bukan hanya dari segelintir organisasi pers saja. Jika Bapak Presiden mampu melakukan itu maka persoalan Pers Indonesia akan segera teratasi. Pada gilirannya Dewan Pers akan kembali kepada marwahnya. Akhir kata, stop kriminalisasi pers dan kembalikan kemerdekaan kami.
Penulis adalah Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI).(hm/bh/sya)
|