JAKARTA (BeritaHUKUM.com) Rapat kerja antara Komisi III DPR dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) kembali dilanjutkan. Kehadiran Menkumham Amir Syamsuddin tanpa Wamenkumham Denny Indrayana, terlihat lebih cair dan santai. Kondisi ini berbeda seperti pekan lalu yang tegang dan panas.
Meski Amir Syamsuddin dan jajarannya terlambat hadir sekitar satu jam lamanya, tidak ada anggota Komisi III yang marah. Mereka hanya meleparkan celetukan yang sedikit mengundang tawa seluruh orang yang hadir di ruang rapat Komisi Hukum DPR RI, Jakarta, Rabu (14/12).
Saat Amir datang, hanya ada Ketua Komisi III DPR Benny. Sedangkan para wakilnya, yakni Aziz Syamsuddin (FPG), Tjatur Sapto Edy (FPAN) dan Nasir Djamil (FPKS) belum mengisi tempat duduknya masing-masing.
Saat diberi kesempatan bicara, Amir langsung menumpahkan curahan hatihnya (curhat) mengenai insiden pembetakan dan pengusiran terhadap dirinya dan Denny yang dilakukan Aziz Syamsuddin di forum tersebut. "Itu mungkin bagian dari dinamika. Tapi saya sebagai pemula, cukup surprise," paparnya disambut tawa anggota komisi tersebut.
Dalam kesempatan tersebut Amir menyebutkan sebenarnya ada usulan yang menarik untuk ditindaklanjuti terkait polemik pengetatan remisi Kemenkumham, yakni terkait pengkajian usulan pengetatan remisi. Tapi dengan situasi yang memanas, usulan itu tidak dapat berkembang. Dalam kesempatan ini, mudah-mudahan usulan itu dapat berkembang, ujar dia.
Tapi ketidakhadiran Denny Indrayana ternyata ada juga yang mempersoalkannya. Sejumlah anggota Komisi III DPR asal fraksi yang kadernya menjadi korban moratorium remisi dan pembebasan bersyarat koruptor, bahkan mengusulkan Denny Indrayana diganti dengan profesor atau doktor ilmu hukum yang mengerti soal aturan hukum.
Menanggapi hal itu, Amir hanya tersenyum dan membalasnya dengan canda. Memang rapat kerja ini jauh lebih rileks dan lebih cair tanpa Denny. DPR sepertinya murka dengan Denny yang dianggap berperan dalam kebijakan moratorium ini cukup dominan.
Denny dianggap telah memerintahkan Dirjen Pemasyarakatan untuk mengeluarkan kebijakan pengetatan remisi dan bebas bersyarat bagi koruptor. Hal itu langsung ditindak lanjuti Dirjen Pas denga mengeluarkan Surat Edaran tertanggal 31 Oktober 2011 lalu. Akibatnya, sejumlah politisi gagal bebas.
Dukung Moratorium
Sementara itu, anggota Komisi III DPR asal Fraksi PKS Aboe Bakar Al Habsy menyatakan bahwa fraksinya mendukung kebijakan pengetatan pemberian remisi kepada koruptor dan teroris. Tapi Kemenkumham harus melakukan revisi terhadap UU Nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan. "PKS mendukung pengetatan remisi, asal sesuai UU yang berlaku, jelas dia.
Menurutnya, kebijakan tersebut dianggap menyalahi aturan, karena dikeluarkan hanya dengan perintah lisan dan tidak disertai dengan perubahan peraturan yang ada seperti keputusan menteri. "Jika dilakukan maka para pejabat akan ambil diskresi yang mengarah pada 'abuse of power'. Jadi harus ada aturan hukumnya," jelasnya.
Hal senada dikatakan pula anggota Komisi III DPR asal Fraksi Partai Hanura Syarifuddin Suding. Menurut dia, seharusnya Kemenkumham menyertai revisi UU dalam kebijakan pengetatan pemberian remisi tersebut. "Fraksi Hanura mendukung pengetatan remisi bagi koruptor, tapi harus penuhi unsur prosedur dan mekanisme hukum yang berlaku, tandasnya.(inc/rob)
|