JAKARTA, Berita HUKUM - Dalam siaran pers yang disampaikan oleh Sekretariat Presiden Republik Indonesia, dalam rapat kabinet paripurna yang dilaksanakan kemarin (4 Januari 2017), Presiden Jokowi menekankan bahwa tahun 2017 ini pemerintahannya akan memfokuskan pada upaya pemerataan, menurunkan kesenjangan melalui kebijakan redistribusi aset dan akses rakyat atas tanah, khususnya yang terkait dengan tanah-tanah adat dan memperkuat akses rakyat atas permodalan menjadi fokus perhatian agenda kerja pemerintahan Jokowi-JK di tahun ini.
WALHI menilai bahwa agenda ini harus diletakkan pada upaya mengatasi ketimpangan dan kesenjangan terhadap sumber daya alam/sumber-sumber agraria yang selama ini menjadi akar masalah dari berbagai krisis multi dimensi yang terjadi, mulai dari kemiskinan, konflik, kerusakan lingkungan hidup yang terakumulasi pada bencana ekologis.
Kami mendorong agar pemerintah melihat agenda ini sebagai sebuah tahapan atau jalan menuju perombakan struktur penguasaan sumber daya alam/sumber-sumber agraria. Karenanya, mengoreksi berbagai perizinan konsesi terhadap berbagai industri di berbagai sektor perkebunan, kehutanan dan tambang yang selama ini menguasai sumber daya alam/sumber agraria menjadi keharusan, terlebih begitu banyak konsesi yang didapatkan oleh korporasi besar selama ini dengan melanggar peraturan dan perundang-undangan.
"Fokus Presiden juga harus dibarengi dengan upaya pemulihan atas hak-hak sosial, budaya dan ekologis rakyat yang selama ini dihancurkan dan dilanggar oleh model pembangunan atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi", tegas Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan WALHI, Khalisah Khalid pada, Kamis (5/1).
"Selain upaya pemulihan hak-hak ekonomi, sosial budaya dan ekologis rakyat, juga tidak boleh ada kebijakan yang kontraproduktif dengan fokus dan agenda kerja yang disampaikan Presiden tersebut. Misalnya berbagai proyek infrastruktur skala besar yang dikejar target pemenuhannya dengan begitu massif, justru tidak berhubungan dengan produktifitas rakyat dan hanya menguntungkan perusahaan besar. Bukannya pemerataan yang akan didapat, rakyat justru akan semakin kehilangan sumber-sumber kehidupannya". Ujar Khalisah menambahkan.
Kita bisa lihat dari berbagai fakta dan pengalaman proyek-proyek pembangunan yang akan berjalan seperti proyek 35.000 megawatt yang sebagian besar dari PLTU batubara yang memiliki daya rusak tinggi terhadap lingkungan hidup dan keselamatan rakyat, menggusur tanah-tanah pertanian rakyat dan melahirkan berbagai bencana ekologis yang lagi-lagi akan menghancurkan perekonomian rakyat dan negara. Pembangunan infrastruktur skala massif ini juga mengancam kawasan esensial yang memiliki fungsi ekologis yang begitu besar, seperti kawasan karst di berbagai daerah di Indonesia.
Berbagai mega proyek infrastruktur skala raksasa dengan mendatangkan investor dan mengandalkan utang luar negeri dari lembaga keuangan internasional maupun lembaga pembangunan internasional, dalam pendangan WALHI justru hanya akan membuat bangsa ini semakin masuk dalam jebakan utang di tengah kita masih harus terus membayar cicilan dan pokok dari utang kita di masa-masa yang lalu, termasuk utang "haram", dengan peruntukan yang lebih besar, dibandingkan untuk membiayai hak-hak dasar rakyat.(walhi/bh/sya) |