JAKARTA, Berita HUKUM - Sejumlah data dan informasi yang berintegritas tinggi guna tata kelola lahan gambut di Indonesia hanya bisa diraih melalui ketaatan terhadap hukum dan perangkat teknologi yang tidak bisa dimanipulasi khususnya melalui pencitraan satelit.
Proses tersebut diharapkan dapat mengoptimalkan fungsi lahan gambut sebagai penyerap udara kotor yang dominan dihasilkan oleh sektor industri.
Hanya saja bagi para pelaku di bidang lingkungan penyelamatan hutan dan lahan gambut, idealnya mampu menterjemahkan mana perangkat hukum yang harus ditaati dan mana regulasi yang kadaluarsa. Pun teknologi tinggi melalui satelit berperan besar dalam pendataan gambut, khususnya integritas data secara vertikal.
“Soal tata kelola lahan gambut itu ada dua teori. Pertama adalah sama sekali tidak menyentuh lahan gambut dan kedua khususnya di indonesia adalah lahan gambut dapat disentuh atau dikelola asalkan ada perencanaan secara hukum dan memakai teknologi yang tidak bisa dimanipulasi,” papar Heru Prasetyo, Kepala Badan Pelaksana Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (BP REDD+) pada Berita Hukum, usai menandatangani kerjasama Pantau Hutan dan Lahan Gambut lewat Satelit bersama Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Rabu (10/9).
Heru menambahkan akan banyaknya perangkat hukum yang tumpang tindih soal lahan gambut penyebab fungsi lahan gambut belum teroptimalkan. Heru juga menilai integritas data salah satu ujung tombak penanganan gambut.
“ Perencanaan akurat dan pembenahan regulasi adalah prioritas nasional yang dikedepankan Redd+, diiringi penggunaan teknologi mutakhir. Keputusan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2013 Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut salah satu aturan yang menjadi patokan, karena kami wajib langsung lapor pada Presiden,” papar Heru menambahkan tentang fungsi lembaga yang dipimpinnya.
Secara administratif BP Redd+ masuk dalam lingkungan Kementrian Kehutanan. Terkait kerja sama teknologi akan pendataan lahan gambut melalui pencitraan satelit, Kepala LAPAN, Prof. Thomas Djamaluddin menyebutkan lembaganya bisa secara komprehensif memberikan data citra satelit dan penginderaan jauh untuk memetakan kerusakan hutan dan lahan gambut. LAPAN antara lain menyediakan data hasil penginderaan jauh yang bersih dari tutupan awan setiap 16 hari, data tutupan lahan bulanan 1:250.000 meter, penginderaan jauh dari satelit Terra Aqua Modis guna mengetahui titik api, pemantauan suhu permukaan laut bulanan, data Landsat-8 dengan resolusi hingga 30 meter untuk sumber daya alam, data satelit SPOT-5 dan SPOT-6, dan data Pleiades dengan resolusi hingga 50 sentimeter.
“Kerjasama ini merupakan salah satu perhatian Lapan dalam menyikapi perubahan iklim. Melalui citra satelit kita dapat mengetahui secara vertikal bahwa lahan gambut tidak saya dapat menyerap udara kotor tapi dapat pula penyebab terjadinya titik api karena banyak mengandung unsur kimia metan. Data yang tidak bisa dimanupulasi ini sekiranya dapat membantu kinerja BP Redd+ dalam menerapkan kegiatan pengukuran, laporan dan verifikasi soal hutan dan tata kelola gambut,” kata Thomas menambahkan.
Program kegiatan pengukuran, laporan dan verifikasi soal hutan dan tata kelola gambut adalah amanat Badan Dunia yang tertuang dalam keputusan Conference of Parties (COP) ke 15 soal perubahan iklim dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca. Komitmen pemerintah indonesia guna menurunkan emisi gas rumah kaca pada 2020 sebesar 26% dengan usaha sendiri dan sebanyak 41% melalui bantuan internasional. (bhc/mat)
|